Tulisanku

Pande_Eka .... Salam Panbers

Kamis, 05 Januari 2017

Kusamba Dan Pantangan Kawitan Pande

Desa Penuh Ilalang Itu Dinamai Kusamba


DESA Kusamba terbilang sebagai salah satu desa penting juga bersejarah di Klungkung. Betapa tidak, desa yang berada di pesisir pantai ini pernah menjadi ibukota kedua kerajaan Klungkung pada masa pemerintahan Ida I Dewa Agung Putra Kusamba. Kala itu, pusat pemerintahan Klungkung sempat dipindahkan ke Kusamba. Dewa Agung membangun sebuah istana dekat pantai yang diberi nama Kusanegara. Pun, Kusamba tercatat dalam sejarah dengan peristiwa heroik Perang Kusamba yang menjadi kebanggaan masyarakat Klungkung bahkan Bali karena sempat berhasil membunuh Jenderal AV Michiels, pimpinan ekspedisi Belanda ke Bali.
Tiada jelas, kapan sesungguhnya Desa Kusamba mulai lahir. Tokoh-tokoh masyarakat Desa Kusamba hanya mewarisi cerita tentang Kusamba yang dulu berupa hamparan padang ilalang yang luas. “Kusa itu kan artinya ambengan atau ilalang, sehingga diberi nama Kusamba. Istana yang dibangun Raja Klungkung di Kusamba juga diberi nama Kusanegara,” tutur I Made Sudirta, salah seorang tokoh masyarakat Desa Kusamba.
Dalam sejumlah kepustakaan tradisional, nama Desa Kusamba kerap disebut. Dalam lontar Dwijendra Tattwa misalnya, Pantai Kusamba sempat disebut dilalui Danghyang Nirartha dalam perjalanan menuju Pura Goa Lawah. Jauh sebelumnya, dalam lontar Babad Jimbaran disebutkan ada sekelompok orang Pasek dari Kusamba yang meninggalkan desanya dan mengungsi ke Jimbaran mengikuti Dhalem Petak Jingga. Hingga kini kelompok warga Pasek dari Kusamba itu masih ada keturunannya dannyungsung sebuah pura yang diberi nama Pura Dukuh.
Dhalem Petak Jingga merupakan putra dari Dhalem Putih yang mendirikan Desa Jimbaran. Dhalem Putih bersaudara dengan Dhalem Ireng, kedua-duanya merupakan putra mahkota di kerajaan Gelgel. Desa Jimbaran sendiri, berdasarkan piyagem dalam lontar beraksara Bali yang disimpan di Pura Ulun Swi Jimbaran disebut telah ada sekitar tahun 1060 Saka atau 1138 Masehi. Bila data ini benar berarti Desa Kusamba sudah ada sebelum tahun 1138 Masehi.
Pada masa kerajaan Klungkung, Kusamba menjadi pelabuhan sekaligus benteng terpenting kerajaan. Bahkan, Kusamba berstatus sebagai mancanegara yang berada di bawah raja. Mancanegara kala itu terdapat di kota Klungkung, Gelgel, Satria, Banjarangkan, Akah dan. Sementara di wilayah Nusa Penida terdapat mancanegara Mentigi atau Batununggul.
Pada masa itu, Kusamba juga dikenal dengan pembuatan keris atau senjata tajam lainnya. Keahlian ini dimiliki sekelompok penduduk Pande. Kini, tradisi membuat keris ini masih dilanjutkan sejumlah warga Banjar Pande. Kini Desa Kusamba lebih dikenal sebagai desa nelayan. Memang, aktivitas sebagian penduduknya sebagai nelayan. Kepala Desa Kusamba, IB Suwitajaya menjelaskan jumlah penduduk Kusamba saat ini sebanyak 6.196 orang.

* I Made Sujaya

Mengetahui Bhisama Warga Pande

Informasi (lanjutan) berikut saya turunkan sebagai sebuah bahan pembelajaran agar Semeton Yowana Warga Pande khususnya dan Semeton Warga Pande umumnya dapat mengetahui secara garis besar terkait 6 (enam) Bhisama Warga Pande (dipecah menjadi 3 tulisan) dalam kegiatan Dharmawacana di Museum Seni ‘Keris’ Neka hari Minggu tanggal 15 Agustus 2010. Bagi yang belum mengetahui apa pengertian Bhisama secara umum (dari dua sisi), dapat melihat kembali tulisan (tepatnya, pertanyaan) saya sebelumnya terkait ‘Sejarah Bhisama Warga Pande.
* * *
Bhisama ketiga, berupa bhisama agar Warga Pande mematuhi larangan atau pantangan atau perbuatan yang harus dihindari, yaitu perbuatan Asta Candhala, agar Warga Pande berhasil menjadi pemimpin manusia yang utama.
Adapun yang dimaksud dengan perbuatan Asta Chandala yaitu :
  1. Amahat, ngaran manginum amdya, metu mawero (minum minuman keras yang memabukan)
  2. Amalanathing, ngaran maka balandhang jejuden (menjadi bandar judi)
  3. Anjagal, ngaran amati mati pasa, madwal daging mentah (membunuh binatang dan menjadi penjual daging mentah)
  4. Amande lemah, ngaran akarya payuk pane (membuat periuk dan barang tembikar lain dari tanah)
  5. Anyuledang, ananggap upah nebuk padi (menjadi tukang tumbuk padi)
  6. Anapis, ngaran amangan sesaning wang len (makan makanan sisa orang lain) ; Amurug papali ngaran (jangan melanggar pantangan)
  7. Amangan klalatu (makan laron/dedalu)
  8. Iwak pinggul ngaran dedeleg (ikan gabus atau jeleg)
*
Secara pemahaman saya pribadi, terkait Bhisama Ketiga ini sebagian hukumnya Mutlak dan sebagian lagi masih dalam tahap ‘kembali pada keyakinan’. Mengapa saya katakan demikian ?
  • Untuk 2 (dua) poin pertama, saya kira semua umat manusia (dengan ajaran agama mereka) memang sudah sepantasnya atau wajib mematuhinya, meskipun dalam prakteknya ada juga yang masih melakukannya.
  • Untuk 3 (tiga) poin berikutnya, saya kira akan ada kerancuan pemahaman secara umum dari masyarakat luas (di masa kini) apabila tidak ditambahkan dengan alasannya, mengapa Semeton Warga Pande tidak diperkenankan menjadi penjual daging, membuat tembikar atau tukang tumbuk padi ? bisa jadi lantaran pada jaman dahulu kemampuan untuk memande (membuat senjata dan peralatan) yang dilakoni oleh seorang Warga Pande dianggap sangat berharga sehingga ada pendapat yang menyatakan bahwa ‘dimana terdapat kerajaan, disitu pastinya terdapat Warga Pande’. Karena biasanya pasokan senjata dan peralatan tempur dibuat oleh Warga Pande tersebut. Akan sangat disayangkan apabila kemampuan tersebut hilang begitu saja.
  • Untuk sisa poin terakhir, saya kira itu akan kembali pada keyakinan masing-masing. Memang ada beberapa cerita yang saya dengar disekitar kami ketika seorang Warga Pande mencoba melanggar pantangan hanya karena ingin membuktikan pantangan atau larangan tersebut. Ketika nekat menyantap daging ikan Gabus atau Jeleg mengakibatkan timbulnya gatal disekujur tubuh dan membengkak. Barangkali hal-hal seperti ini bisa saja dijelaskan dari segi medis, apakah terkait alergi misalnya, namun apabila dirunut ke kisah (atau mitos ?) masa lalu seorang Warga Pande dalam hubungannya dengan keberadaan ikan Gabus, wajar apabila kutukan secara niskala bisa berjalan. Percaya atau tidak, itu saja.
* * *
Bhisama keempat, adalah bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmna Dwala mengenai larangan menggunakan tirtha dari sulinggih lainnya. Larangan ini sama sekali bukan didasari oleh niat merendahkan atau melecehkan sulinggih dari keturunan yang lain (bukan Warga Pande), akan tetapi menyangkut beberapa hal prinsip yang harus dipahami oleh Warga Pande. Selengkapnya bisa dibaca pada tulisan berikut.
Ada empat alasan kiranya Warga Pande disarankan untuk menggunakan sulinggih dari keturunan Pande atau lazim dikenal dengan Sira Mpu adalah sebagai berikut :
  • Pertama, pemakaian Sira Mpu adalah penerusan tradisi leluhur yang telah berlangsung sejak jaman sebelum kedatangan DangHyang Nirartha ke Bali. Jauh sebelum Beliau datang Warga Pande telah memiliki sulinggih sendiri yaitu Sira Mpu. Tradisi itulah yang telah diwariskan dari generari ke generasi, kendatipun pada saat jayanya sistem kerajaan di Bali, banyak rintangan dan hambatan yang dialami oleh Warga Pande, karena banyak warga desa yang melarang pemakaian Sira Mpu oleh Warga Pande.
  • Kedua, Warga Pande tidak menggunakan Sulinggih lain, karena ada mantra-mantra khusus yang tidak dipakai oleh Sulinggih lainnya, khususnya yang berkaitan dengan Bhisama kedua yaitu ajaran Panca Bayu. Mantra yang tidak boleh dilupakan oleh Warga Pande yang berhubungan erat dengan profesi utama seorang Warga Pande.
  • Ketiga, Warga Pande seperti warga/soroh lainnya di Bali, memiliki aturan tersendiri dalam pembuatan kajang kawitan. Kajang kawitan Pande hanya dipahami secara mendalam oleh Sira Mpu atau pemangku pura kawitan sehingga hanya merekalah yang berhak membuat kajang kawitan Pande.
  • Keempat, tata cara pediksaan di kalangan Warga Pande sangat berbeda dengan tata cara pediksaan dikalangan warga lain, khususnya keturunan DangHyang Nirartha. Perbedaan ini sangat prinsip bagi Warga Pande, dimana Warga Pande melakukan pediksaan dengan sistem Widhi Krama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar