Tulisanku

Pande_Eka .... Salam Panbers

Selasa, 14 Februari 2017

Berbagi Kasih Di Griya Suci Tatasan

Berbagi Kasih Di Griya Suci Tatasan

    Rahajeng Odalan Sri Empu Aji Pande - Griya Tatasan,Dumogi setate kenak ,dirgahayu dirgayusa tur mangda setata mresidayang micayang tuntunan lan tetuwek majeng ring oka-oka ida ring sejebag bali sane maguru tunggal ring griya Suci Tatasan,Swaha..






Minggu, 12 Februari 2017

Filosofi Tirta, Air Suci Dalam Hindu Bali


Tirtha (tirta) adalah air suci atau holy water melalui mantra weda yang mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci dari kekotoran fisik dan spiritual, sehingga merupakan simbolis pembersihan Tri Pramana (bayu, sabda, dan idep). Dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu oleh para sulinggih sehingga proses ngarga tirtha yang dihasilkan betul-betul amatlah suci.
Tirta juga disebutkan berasal dari akar kata :
  • “tr” yang berarti “triyate anena” atau diseberangkan,
  • dengan kata lain orang diseberangkan dari lautan dosa yang dengan jalan tirtha yatra sesungguhnya juga bermakna untuk menyucikan diri dari pengaruh dosa.
Demikian disebutkan tirtha sebagaimana dijelaskan dalam ajaran-ajaran Agama Hindu sesuai dengan adat Bali yang dalam tirthayatra, perjalanan suci atau wisata disebutkan pula bahwa tirtha memiliki pengertian :
  • Tirtha juga berarti air suci, air kehidupan atau nectar, juga berarti tempat-tempat suci yang ada air sucinya.
  • Disamping itu tirtha juga berati atau memiliki makna sebagai orang-orang suci, karena umumnya orang-orang suci berada ditempat-tempat suci yang ada airnya.
Titha sebagai air suci melalui doa, puja dan mantra weda yang sehabis melaksanakan sembahyang seperti halnya dalam upacara pagedong-gedongan disebutkan dapat diucapkan mantra sebagai berikut :
Dipercikan tiga kali di kepala,
Om Budha pawitra ya namah
Om Dharma maha tirtha ya namah
Om Sanggya maha toya ya namah
Diminum tiga kali, 
Om Brahma pawaka ya namah
Om Wisnu amertha ya namah
Om Iswara jnana ya namah
Diraup tiga kali di kepala, 
Om Siwa sampurna ya namah
Om Sadhasiwa paripurna ya namah
Om paramasiwa suksma ya namah
Melukat, mantra :
Om Salilam wirnalem toyem, toyem tirthasya bajanam Subhiksa ya samataya, dewanam lisana-sanam.
Makurah, nginum, meraup (sebanyak tiga kali), mantra;
Om Pawitram gangga tirthaya, mahabhuta mahodadi Bajra prani maha tirtham, papasanam kalinadem
Kisah dan jenis tirtha dan manfaatnya oleh seorang pinandita atau sulinggih sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan mewinten diceritakan sebagai berikut :
  • Dahulu tatkala terjadinya pemutaran mandara giri yang diceritakan dalam lontar adi parwa disebutkan Amrta sebagai air suci kehidupan abadi yang muncul dari dasar Ksirarnawa.
  • Tirta Prascita, sebagai sarana untuk penyucian atau mensucikan bangunan, peralatan elektonik atau kendaraan yang baru dibeli, kemalangan / sebel / cuntakadari seseorang atau biasanya dipergunakan terlebih dahulu sebelum suatu upacara yadnya dimulai atau dipuput oleh Pedande / Pandita seperti yang disebutkan dalam kutipan banten prayascita. 

Tradisi Meluasang Di Bali

Meluasang (metuunan; mapinunas; nunas bawos atau nuwunang; mepeluas) adalah tradisi di Bali untuk meminta petunjuk kepada leluhur maupun kepada bethara – bethari, Bhatara Hyang Guru, para dewa, menemukan Bhatara Kawitan dll melalui seorang yang suci. Metuunang/mepeluas bukan saja merupakan tradisi budaya sebagaimana disebutkan reinkarnasi dalam tradisi di Bali, melainkan meluasang juga merupakan sebuah rangkaian peristiwa dalam sistem keagamaan Hindu di Bali yang sering dilaksanakan untuk menyambut kelahiran seorang anak, sehabis upacara besar tertentu, ngaben, kena musibah / bencana.
Meluasang / metuunang ini dilakukan dengan perantara Balian Pedehan yang telah suci yang ada di sekitar masyarakat Hindu Dharma di Bali yang didahului dengan nunas ke Betara Dalem / Bhatara Hyang Guru agar bisa didatangkan roh / atman leluhur yang dikehendaki untuk hadir pada Balian Pedehan yang dimaksud.
Kesakralan dan keunikan peristiwa ini untuk dapat mendatangkan “Roh” orang yang kita undang lewat Balian Pedehan yang sedang kerauhan / kerasukan.
Untuk mengetahui siapa yang manumadi (numitis) / reinkarnasi pada si bayi, orang tua (nenek atau kakek) akan melaksanakan upacara Metuunang / meluasang dan di akhir dengan kesimpulan final bahwa yang numitis ke raga si bayi adalah I pekak…, I kumpi…, I buyut…. dst, yang menariknya lagi dalam upacara meluasang ini, mereka yang masuk ke raga si bayi selalu masih ada hubungan keluarga vertikal dengan yang melaksanakan upacara Meluasang saat itu.

Kayu Dadap, Kayu Sakti Di Bali

Menyebut nama Kayu Dapdap, maka dalam pembuatan berbagai sarana upacara atau bebantenan Kayu Dapdap ini sangat sering disebutkan dan dibutuhkan untuk melengkapinya. Bahkan sebelum orang Bali mampu membuat pelinggih atau sanggah permanen, maka Kayu Dapdap ini juga berfungsi, digunakan untuk membuat pelinggih atau sanggah yang disebut dengan Turus Lumbung.
Disamping fungsi untuk bahan upacara dan bahan untuk pembuatan tempat suci, seperti pelinggih atau sanggah tadi,  dalam Lontar Taru Premana pohon Dapdap ini juga disebutkan bermanfaat sebagai tanaman untuk bahan obat. Seperti untuk obat demam, cacingan, disentri, susah tidur dan lain-lain. Disamping untuk menyembuhkan beberapa penyakit, Dapdap juga dipercaya sebagai penawar terhadap  gangguan kekuatan negative.
Kayu Dapdap ini memang sangat unik. Bisa tumbuh di sembarang tempat, baik di air di tanah bahkan mampu tumbuh dan bertunas tanpa ditanam dalam tanah. Coba saja potong beberapa batang carang (cabang) pohon Kayu Dapdap ini, kemudian taruh sembarang, ia akan tumbuh dan keluar tunas dari batang pohon tersebut.
Membuat Tepung Tawar, saat upacara Ngampak Lawang, Mendem Pedagingan, saat Upacara Pernikahan, hingga Upacara Ngaben Kayu Dapdap ini digunakan. Mungkinkah karena manfaat tersebut dan tumbuhnya yang unik itu, membuat Kayu Dapdap ini disebut sebagai Kayu Sakti ? Ia sakti karena bermanfaat banyak, mulai dari akar hingga muncuk (pucuknya) berguna. Ia kelihatan tidak menonjol, namun tulus melayani untuk banyak kebutuhan.

Ngelungah, Upacara Untuk Bayi Yang Meninggal


Ngelungah adalah upacara atiwa – tiwa bagi anak-anak yang berumur di atas tiga bulan dan belum tanggal giginya, bila meninggal dunia maka diaben dengan upacara ngaben Ngelungah ini. Kalau bagi anak yang belum berumur tiga bulan, bila meninggal almarhumhanya dikubur saja. Namun, anak yang berumur diatas tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang dewasa demikian disebutkan ngelungah ini dalam sumber kutipan konsep panca yadnya dan filosofi nilai dalam kelangsungan hidup menurut umat hindu yang tata cara dari ngelungah ini disebutkan sebagai berikut :
  • Mempermaklumkan ke Pura Dalem, dengan upacara: canang meraka, daksina, ketipat kelanan, telor bekasem dan segehan putih kuning.
  • Memaklumkan ke Mraja Pati dengan upacara: canang, ketupat, daksina dan peras.
  • Mempermaklumkan pada sedahan Setra, dengan upacara: canang meraka dan ketipat kelanan.
  • Permaklumkan pada bangbang rare, dengan upacara : sorohan, pengambian, pengulapan, peras daksina, klungah nyuh yang disurat Omkara.
  • Banten pada roh / atman bayi, seperti: bunga pudak, bangsah pinang, karaseb sari, punjang dan banten bajang.
  • Tirta pangrampuh atau pengrapuh yang dimohon di Pura Dalem dan Mraja Pati. Semua tetandingan banten itu tempatkan di gegunduk bangbang, pemimpin upacara yaitu sulinggih memohon pada bhatara/bhatari agar roh bayi cepat kembali menjadi suci. Bila selesai memercikkan tirta, banten ditimbun dan bangbang diratakan kembali.
Menurut Almarhum Ida Pedanda Gede Made Gunung, jawaban belia tentang upacara bayi meninggal adalah : Dalam agama hindu, upacara untuk bayi meninggal dilakukan berbeda dengan upacara pada orang dewasa yang sudah meninggal. Dalam lontar Yama Tatwa disebutkan bahwa bayi yang sudah lahir namun meninggal sebelum mencapai umur 42 hari, haruslah dikubur pada saat itu juga tanpa memerlukan dewasa khusus. Selanjutnya jika pada orang dewasa yang meninggal dilakukan upacara ngaben, maka pada bayi yang meninggal sebelum usia 42 hari tersebut tidak diaben, hanya melakukan upacara nyapuh gumukan.
Sedangkan jika bayi yang meninggal sudah berusia diatas 42 hari namun belum meketus / tanggal gigi, maka dilakukan upacara Ngelungah. Ngelungah disebut juga Ngasturi yaitu rangkaian upacara ngaben dan memukur yang dijadikan satu kesatuan, sehingga jika sudah ngelungah tidak perlu lagi upacara memukur karena pada saat ngelungah sudah menggunakan don bingin. Jika ada anak kecil yang meninggal dan sudah pernah meketus / tanggal gigi, maka pada anak tersebut dilakukan upacara ngaben dan memukur sama seperti orang dewasa.
Jika ada ibu – ibu yang keguguran dan sudah berupa janin, maka janin tersebut haruslah dikubur pada saat itu juga. Tidak diperbolehkan menginapkan mayat janin atau bayi di rumah. Penguburan tersebut dilakukan tanpa memerlukan dewasa dan tanpa membunyikan kulkul banjar, atau disitilahkan ngemaling dan tidak memerlukan upakara khusus, cukup dengan canang sari saja. Sedangkan bagi orang tua yang bayinya meninggal berlaku cuntaka yang berbeda, untuk sang ibu cuntaka selama 42 hari dan si bapak selama 12 hari. 
http://kb.alitmd.com/

Mengapa Tidak Boleh Memukul Anjing Yang Datang Saat Upacara Agama




Diceritakan Maharaja Janamejaya menggelar upacara yadnya di Kuruksetra. Maka diperintahkanlah oleh beliau salah seorang sanak saudara beliau untuk mengawasi dan menjaga tempat pelaksanaan ritual upacara yadnya tersebut. Sanak  saudara beliau yang diperintahkan untuk menjaga dan mengawasi tempat dan pelaksanaan ritual upacara yadnya tersebut bernama sang Srutesena. Ketika pelaksaanaan upacara yadnya tersebut tengah berlangsung, ada seekor anjing yang bernama Sarameya, ikut menonton dan menyaksikan ritual upacara yadnya tersebut. Dilihatlah anjing tersebut oleh sang Srutesena, kemudian dipukulah anjing tersebut oleh sang Srutesena.
Anjing tersebut kemudian lari sambil menangis kesakitan. Anjing tersebut kemudian menceritakan hal yang ia alami kepada Ibunya. Ternyata ibu dari anjing yang bernama Sarameya ini adalah sang Sarama, istri dari Bhagawan Pulaha.  Sedih dan terpukul hati sang Sarama mengetahui bahwa anak beliau dipukul tanpa dosa. Oleh karenanya beliau kemudian pergi ke Kuruksetra, tempat dimana upacara yadnya itu berlangsung. Setibanya di tempat dimana Maharaja Janamejaya menggelar upacara yadnya tersebut, beliau kemudian bersabda dan memberikan kutukan.
“Hai Maharaja Janamejaya, Sarameya adalah putraku, ia sangat santun, ia tahu bahwa dirinya kotor, ia tidak menginginkan persembahan dan sesajenmu, apalagi sampai menjilatinya. Sejatinya ia hanya ingin menyaksikan dari kejauhan upacara yadnyamu, tapi ia dipukul padahal perbuatannya tiada dosa, oleh sebab itu akan ada bencana besar yang akan engkau dapatkan di kemudian hari, karena memukul  yang tak sepatutnya dipukul”.
Demikian kutukan sang Sarama kepada Maharaja Janamejaya. Setelah berkata demikian sang Sarama kemudian lenyap menghilang dari pandangan. Mendengar kutukan ini Maharaja Janamejaya menjadi sangat sedih dan bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beliau tidak menyangka bahwa dirinya akan dikutuk oleh Bhatari Sarama. Akhirnya Maharaja Janamejaya memutuskan untuk menyudahi ritual upacara yadnya tersebut.
Demikian sekilas cerita yang dikutip dari Adi Parwa, yang banyak dipakai acuan agar mereka yang menggelar upacara yadnya tidak sembarangan memukul anjing yang seringkali datang ke tempat upacara yadnya berlangsung.
Berbagai jenis makanan dan sesajen, sudah barang tentu mengundang anjing-anjing untuk datang demi untuk mendapatkan makanan. Seringkali anjing-anjing ini berebut dan berkelahi diantara mereka dan tak jarang menyebabkan sedikit kekacauan di tempat upacara yadnya berlangsung. Melihat hal seperti ini banyak dari akan menjadi marah dan akan segera mengambil tindakan dengan mengambil kayu kemudian memukul anjing-anjing tersebut. Namun seringkali walaupun sudah dipukul dan diusir berkali-kali, anjing-anjing itu akan kembali lagi dan kembali membuat gaduh, inilah wujud “gegodan” kecil dalam pelaksanaan upacara yadnya.
Dalam situasi seperti inilah sejatinya kesabaran kita diuji, untuk tidak sembarangan memukul anjing-anjing tersebut. Tentu anjing-anjing tersebut harus diusir, agar tidak mengganggu, namun tentu ada cara lain, cara yang lebih baik daripada memukul mereka. Lebih baik mengusir mereka dengan cara sekadar menggertak, namun tidak menyakiti, atau mungkin menyediakan tempat di luar tempat upacara dimana anjing-anjing ini bisa diberi makanan, agar tidak mengganggu dan lalu lalang di tempat upacara berlangsung.
Memberikan makanan pada anjing-anjing ini adalah salah satu wujud Bhuta yadnya atau pemberian bagi mahkluk bawah, guna mendamaikan mereka. Sama halnya dengan para bhuta, jika anjing-anjing tersebut, tidak ditangani dengan baik, mungkin bisa menjadi suatu hal yang mengganggu atau “gegodan”. Oleh sebab itulah selain bakti dan ketulusan dalam beryadnya, kesabaran serta ketenangan juga merupakan sebuah hal penting yang harus dimiliki oleh mereka yang menggelar upacara yadnya. Harus diketahui bahwa “gegodan” bisa mengambil wujud apapun, guna menghalangi keberhasilan upacara yadnya yang sedang dilaksanakan. Jadi jangan biarkan hal kecil menjadi sebuah penyebab gagalnya upacara yadnya yang dilaksanakan.
Disamping itu pula, apabila diselami lebih dalam makna dari yadnya, maka akan dipahami bahwa segala bentuk upacara yadnya bertujuan untuk mendamaikan ketiga dunia, Bhur Bwah Swaha, serta segala isinya, termasuk para binatang. Maka siapapun yang melangsungkan ritual upacara yadnya, jika ingin yadnya yang dilakukan berhasil tanpa halangan, hendaknya menghindari perbuatan-perbuatan yang mungkin menyakiti mahkluk lain, apalagi mahkluk yang tak berdosa.–sumber

Senin, 06 Februari 2017

REVITALISASI MAKNA TUMPEK LANDEP DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

REVITALISASI MAKNA TUMPEK LANDEP DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

Pendahuluan
Di Bali, budaya dan agama Hindu menjadi dua fenomena dalam satu realitas. Transformasi kebudayaan menuju tradisi religius terjadi begitu apik dalam ruang Hinduisme yang menebarkan aroma harmoni budaya dan agama. Fenomena budaya muncul sebagai ekspresi kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan kebahagiaan (sundaram) menuju realitas absolut (Brahman). Berbasis persembahan suci (yajna), masyarakat Hindu di Bali menyelaraskan gerak kehidupan adat dan budayanya menjadi kesatuan rasa (keindahan), agama (tradisi suci), dan buddhi tepet (kebijaksanaan). Ekspresi religius dalam aktivitas berkebudayaan inilah menjadikan agama Hindu Bali begitu unik dan khas. Bukan merujuk kepada Veda, tetapi mengalir dari Veda. Bukanlah agama yang hanya tekstual, tetapi agama yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks sehingga nilai-nilai agama menginternal menjadi kepribadian dan jati diri pemeluknya.

Perpaduan tradisi lokal dan Hinduisme memang menjadi karakter khas Hindu Indonesia umumnya dan Bali khususnya. Melalui proses dialektis yang panjang dan berliku maka agama Hindu di berbagai daerah menunjukkan keunikan dan kekhasannya sendiri, tetapi esensinya tunggal. Pandangan dialektis berpendapat bahwa kebudayaan lokal telah memiliki kemampuan dan posisi yang sama kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan yang datang dari luar sehingga proses lahirnya kebudayaan baru terjadi dalam proses dialogis yang panjang (Utama, 2003). Pertemuan antara bentuk-bentuk kepercayaan asli Indonesia dengan Agama Hindu yang datang dari India telah menghasilkan agama Hindu Indonesia. Proses interaksi ini terjadi secara alkulturatif, di mana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria, 2000). Hal ini sejalan dengan pernyataan Magetsari (1986) bahwa masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu Indonesia dalam kekhasannya.

Kearifan lokal ini terutama nampak dalam aktivitas ritual sehingga sulit merujuk langsung keberadaannya dalam tradisi Veda. Mengingat ritual merupakan sistem simbolis yang mengandung makna berlapis sehingga untuk menemukan inti ajarannya diperlukan pengupasan yang berlapis-lapis pula. Oleh karena itu, terburu-buru menolak tradisi ritual yang tidak tersurat dalam Veda tentu bukanlah tindakan yang bijaksana. Sekali lagi, Veda adalah mata air yang menjadi sumber aliran sungai kebijaksanaan yang tak terhitung jumlahnya. Pada setiap aliran sungai ini Veda memberikan warna sesuai dengan kondisi lingkungan alam, sosial, dan budaya masyarakatnya. Dengan cara demikian Veda dapat hidup dimanapun, memberikan warna kehidupan masyarakatnya, menumbuh-suburkan kebudayaan, dan akhirnya mengantarkan manusia pada kesejahteraan dunia (jagadhita) dan kebahagiaan tertinggi (moksa). Sekali lagi, baik yang merujuk kepada Veda maupun yang mengalir dari Veda sesungguhnya semua bersumber dan bermuara kepada Veda.

Bali mewarisi ritual keagamaan yang beberapa di antaranya kental nuansa lokal. Adalah upacara tumpek yang hadir setiap Saniscara Kliwon. Upacara tumpek hadir dari pertemuan antara Panca wara, Sapta wara, dan Pawukon dalam sistem kalender Hindu (Jawa-Bali). Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem kalender Hindu Nusantara dikenal beberapa istilah, seperti penanggal, panglong, wewaran (dari eka wara hingga dasa wara ), pawukon (berjumlah 30), dan sasih (jumlah 12). Berbeda dengan sistem kalender India yang hanya menggunakan sistem surya-candra (lunar-solar system). Singkatnya, sistem wewaran dan pawukon merupakan penanggalan khas Indonesia (Jawa-Bali) sehingga upacara-upacara yang berlangsung dalam sistem ini juga, mencerminkan tradisi lokal.

Menjadi persoalan adalah bagaimana tradisi lokal ini dapat dikatakan sebagai upacara Hindu? Adakah rujukan sastra yang otentik sehingga upacara tersebut tidak bertentangan dengan Veda? Ini menjadi pertanyaan yang lumrah terjadi dalam diri umat Hindu karena rujukan otentik dan literer memang dibutuhkan bagi pelaksanaan tradisi religius. Oleh karena itu, penting mendapatkan jawabannya sehingga ritual keagamaan tidak sekadar menjadi tradisi yang terberi (given), tetapi menjadi nilai yang bermanfaat kehidupan. Demikian juga penting memahami nilai kearifan lokal dalam suatu ritual keagamaan sehingga dapat diterapkan dalam konteks kekinian.

Transformasi Ajaran Veda dalam Tumpek Landep
Tumpek adalah bagian dari Ācāra agama Hindu. Ācāra secara umum mencakup bidang yang sangat luas terutama berkaitan dengan tradisi ritual. Ācāra agama Hindu mencakup hal sebagai berikut : (1) ajaran tentang yadnya; (2) ajaran tentang hari-hari suci keagamaan; (3) ajaran tentang tempat suci atau tempat-tempat pemujaan; dan (4) ajaran tentang orang suci (Sudharta & Punyatmadja, 2001). Dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan mengenai ācāra agama sebagai berikut.
”Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa”.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Veda (Sruti dan Smerti) merupakan sumber pertama dari Dharma, kemudian adat istiadat, setelah itu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda; juga tata cara kehidupan orang suci, dan akhirnya kepuasan pribadi.

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra sering diberi awalan upa, yang bermakna sekitar, sehingga kata upācāra bermakna sekitar tata cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian maka ācāra Agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara (instrumen).
Upacara Tumpek secara khusus dibahas dalam Lontar Sundarigama. Untuk diketahui bahwa lontar Sundarigama merupakan intisari dari ajaran wariga gemet. Hal ini tertulis dalam bait ke-3 yang berbunyi, sebagai berikut.
“Um, ranak si Purahita mekabehan, Siwa, Sogata, rengen pawarahkwe kita anakku, an Ling aji Sundarigama, pakertin tikang pawitran, pangisining wariga gemet, pacatuning rat bhawana, wastu wayang ning ngastuti, Sanghyang bunten ing wwang mahayu raga sarira, dadi hawan ing krta nugrahanira Sang Hyang Maha Wisesa, tumurun ring bhuwana, lwih tinemunia, rahayu hanrus ring Tribhuwana, palaning han dadi wwang, mapageh ikang sundih aji, mening mahening kajagadhitan ta purahita kabeh, bhyuh bala, byuh sisya, kadang apa lwir nia, nihan”
Artinya :
Wahai anakku para purahita semuanya, Siwa Budha, dengarkanlah nasehatku ini untukmu anakku, bahwa ajaran Sundarigama merupakan tuntunan pelaksanaan pesucian, inti dari wariga gemet, bagi kehidupan dunia, wujud memuja Hyang Widhi Wasa dan menjadi perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, menjadi jalan tuntunan dalam memohon nugraha Sang Hyang Wisesa. Ajaran ini diturunkan ke dunia dan diberikan kepada manusia agar manusia dapat menikmati kebahagiaan kekal di atas dunia. Makmurlah Negara karena menikmati keutamaan, yaitu keselamatan terus-menerus di tri bhuwana (bhur, bwah, swah), inilah keutamaan yang amat mulia bagi manusia, dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi Negara dan rajanya. Keheningan dan kemurnian para purahita adalah kebahagiaan dunia, kemakmuran rakyat, para pelajar, para saudara dan siapapun juga.

Artinya, tujuan utama dari pelaksanaan hari-hari baik dan suci adalah untuk kebahagiaan semua makhluk (bhuta hita, sarwa prani hita). Dalam bait ke-4, Lontar Sundarigama juga dijelaskan bahwa “pada saat hari yang uttama (kala wayutama) adalah waktu pesucian para dewa-dewi, bhatara-bhatari, widyadara-widyadari, pitara-pitari. Beliau beryoga semedi untuk kebahagiaan dunia maka manusia pun patut untuk ikut serta melaksanakan pujawali untuk menyambut cinta kasih yang akan dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara”. Dengan demikian maka melalui persembahan bhakti pada Hyang Widhi Wasa tatkala hari-hari suci adalah utama demi terciptanya keselamatan dan kebahagiaan dunia.
Pada dasarnya Hari Raya Tumpek adalah hari raya yang jatuh pada hari Saniscara Kliwon. Adapun bentuk pemujaan dan perayaan disesuaikan dengan Wuku yang mengikutinya sehingga akan lahir 6 (enam) jenis upacara Tumpek dengan maksud dan tujuan yang berbeda satu dengan lainnya. Mengenai arti penting dari pelaksanaan upacara Tumpek, seperti dijelaskan dalam Lontar Sundarigama sebagai berikut.

”Saniscara Kliwon ngaran, wekasing tuduh rikang wwang, haywa lali amusti Sang Hyang Maha Wisesa, haywa deh, ndan haywa pisah, apasamana tumurun kertanira Sanghyang Anta Wisesa ring rat kabeh.
Pangacinia kayeng lagi, sedengnging latri tan wenang anambut karya, meneng juga pwa ya, heningakna juga ikang adnyana malilian, umengetaken Sanghyang Dharma, mwang kawyiadnyana sastra kabeh, mangkan telas kangetakna haywa sang wruhing tattwa yeki tan mituhu, mwang alpa ring mami, tan panemwa rahayu ring saparania, apania mangkana, wwang tan pakarti, tan payasa, tan pakrama, sania lawan sato, binania amangan sega.
Yan sang wiku tan manut, dudu sira Wiku, ranak ira Sanghyang Dharma”.

Artinya:
Hari Saniscara Kliwon dinamakan hari inti, hakikat dari anugerah Hyang Widhi, yang diberikan kepada manusia. Oleh karenanya, janganlah lupa menyembah Hyang Maha Wisesa, jangan menjauhkan diri, bahkan janganlah sampai terpisah dengan Beliau. Sebab segala sesuatu yang ada ialah karena turunnya kesempurnaan Hyang Widhi yang terus menerus dilimpahkan kepada seluruh dunia. Jadi, cara pemujaan kepadaNya adalah sebagaimana biasa.

Sedangkan pada malam harinya, tidak dibenarkan mengambil pekerjaan jasmani, melainkan hanya melakukan renungan suci, yakni mengheningkan cipta dan diarahkan untuk menyadari Sanghyang Dharma. Lain daripada itu, juga diarahkan kepada inti sari ajaran agama seluruhnya. Demikianlah semuanya agar diingat-ingat, terutama harus disadari oleh orang yang mendalami tattwa. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, lebih-lebih jika malah dinodai, niscaya tidak akan mendapatkan keselamatan di manapun nantinya berada, mengapa demikian?

Karena orang yang tidak melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma (tindakan terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), dapatlah disamakan dengan binatang, bedanya hanya karena ia memakan nasi.
Jika sang Wiku yang bijaksana tidak menuruti ajaran ini, bukanlah dia disebut Wiku yang disayangi oleh Sanghyang Dharma.

Dari uraian Lontar Sundaraigama di atas dapat digali beberapa keunggulan hari raya Tumpek. Pertama, hari ini adalah hari inti untuk memohon anugerah Hyang Widhi bagi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, wajib bagi umat Hindu untuk menghaturkan persembahan, melakukan puja, sujud bhakti kepada kemuliaan dan kebesaran Hyang Widhi, Beliau yang Mahapemurah dan pemberi anugerah keutamaan bagi kehidupan manusia. Kedua, malam hari Tumpek adalah malam yang baik untuk melakukan renungan suci, tapa-brata-yoga-samadhi. Hubungan transendental terus-menerus ditujukan kepada Sanghyang Dharma, Kebenaran Abadi. Anugerah utama yang dimohon adalah supaya kehidupan manusia senantiasa dituntun oleh dharma, demi tercapainya tujuan tertinggi (purusa artha), yakni moksartham jagadhita ya ca itu dharma. Seperti dijelaskan dalam Sarasamuccaya, seloka 14 ”ikang dharma ngarania, henuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu an hetuning banyaga nentasing tasik” (yang disebut dharma adalah jalan menuju sorga, seperti sebuah perahu yang digunakan nelayan untuk menyeberangi samudera).

Ketiga, hari raya Tumpek mengingatkan kembali pada keutamaan manusia dibandingkan makluk lainnya. Keutamaan itu terletak pada kesanggupannya melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma (tindakan terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), karena jika tidak dilaksanakan maka tidak ada bedanya manusia dengan hewan. Ini merupakan pesan moral dari pelaksanaan upacara Tumpek sehingga upacara ini begitu penting untuk dilaksanakan dalam keberagamaan umat Hindu. Keempat, upacara Tumpek memiliki kekuatan mengikat bagi umat Hindu untuk melaksanakannya. Dalam tataran bhakti, ditegaskan dengan perbedaan antara ”anugerah” dan ”hukuman” yang menjadi akibat dari dilaksanakan atau tidaknya upacara ini. Bagi yang melaksanakannya tentu anugerah pahalanya, tetapi jika tidak maka akan diperoleh kenistaan dan kepapaan.

Keempat, Secara filosofis Tumpek memiliki hakikat mendalam yang mesti dipahami secara berjenjang dari ritual menuju tattwa. Penguasa hari Saniscara adalah Bhatara Vasu atau Vasudewa, yakni Bhatara Wisnu sebagai pemelihara eksistensi alam semesta. Sementara itu, Kliwon, dewanya Bhatara Siwa menempati posisi di tengah; Dengan demikian hari Kliwon menempati poros kosmis, baik di alam maupun diri manusia. Di sinilah bersthana Bhatara Siwa yang menjaga keseimbangan seluruh alam. Hari raya Tumpek mempertemukan Bhatara Wisnu dengan Bhatara Siwa dalam satu titik yang sama. Hari baik untuk melakukan persembahan dan pemujaan, maka tujuan bhakti tersebut sangatlah jelas, yaitu untuk mendapatkan kasih dari Hyang Widhi (manusa bhakti dewa asih). Dalam konteks spiritual, Tumpek merupakan hari yang istimewa untuk melakukan perenungan dan permenungan mengenai hakikat diri sejati sehingga Sang Atman menyadari kesejatiannya (matutur ikang atma ri jatinia). Tumpek adalah hari yang utama untuk melakukan pemujaan kepada Bhatara Siwa sebagai asal mula dan tujuan segala yang ada, sangkan paraning dumadi.

Menyimak uraian di atas jelas bahwa Tumpek memiliki kedudukan, fungsi, dan makna yang penting bagi kehidupan manusia dan semesta alam. Dalam struktur kesusasteraan Veda, Tumpek adalah tradisi religius (ācāra) yang memiliki kedudukan penting sebagai salah satu sumber pelaksanaan ajaran Agama Hindu. Menjadi kewajiban bagi seluruh penganut Siwa-Buddha untuk melaksanakan Hari suci Tumpek. Lain daripada itu bahwa dengan menyadari hakikat Tumpek akan menuntun manusia pada kesadaran diri untuk melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma, yakni karya nyata menciptakan kebahagiaan masyarakat melalui pengabdian, pelayanan, dan tindakan.

Tumpek Landep adalah hari suci Hindu yang didasarkan pada pertemuan wawaran dan pawukon dalam sistem kalender Jawa-Bali, yakni Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) wuku Landep. Kata landep berarti tajam atau merupakan wuku ke-2 dalam sistem pawukon. Bagi umat Hindu, hari ini diyakini menjadi otonan atau selamatan bagi semua senjata tajam, alat perang, peralatan dari besi, dan sebagainya (Tim, 2002: 123). Dasar pelaksanaan upacara ini adalah Lontar Sundarigama, yang berbunyi sebagai berikut.
“Kunang ring wara Landep, Saniscara Kliwon, puja wali Bhatara Siwa, mwah yoganira Sanghyang Paśupati, puja wali Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adan-adanan, iwak sata sarupania, grih trasibang, sedah wah, haturakna ring sanggar.
Yoga Sanghyang Sri Paśupati, sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi, astawakna ring sarwa sanjata, lendepaning prang.

Kalingania ring wwang, denia paśupati, landeping idep, samangkana talaksanakna kang japamantra wisesa Paśupati”

Artinya:
Pada hari Wuku Landep, Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) adalah hari pemujaan Bhatara Siwa dan hari yoganya Sanghyang Paśupati. Adapun sarana untuk pemujaan Bhatara Siwa adalah tumpeng putih selengkapnya, lauknya ayam sebulu-bulu, grih trasibang (ikan asin dan terasi merah), sedah woh, dihaturkan di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan).
Sementara itu, untuk pemujaan Sanghyang Paśupati dihaturkan, sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi. Babantenan ini ditujukan (di-ayab-kan) kepada semua jenis senjata sehingga bertuah dalam perang.
Adapun hakikatnya dalam diri manusia, ialah tajamnya pikiran (idep), untuk itu laksanakanlah japa mantra untuk mendapatkan anugerah Paśupati.

Dari uraian lontar tersebut dapat dipahami bahwa ista dewata yang dipuja dalam pelaksanaan Tumpek Landep adalah Bhatara Siwa dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Paśupati. Paśupati dalam teologi Hindu adalah manifestasi Siwa sebagai Raja binatang (Paśu = binatang; pati = raja). Akan tetapi dalam praktik keagamaan Hindu di Indonesia, Paśupati juga berarti upacara pemberkatan, upacara untuk memberikan tuah pada benda-benda pusaka untuk mendapatkan kekuatan magis (Tim, 2002:81). Dengan demikian upacara Tumpek Landep tepat dimaknai sebagai pemujaan kepada Sanghyang Paśupati untuk mendapatkan anugerah berupa tuah (kekuatan/sakti) bagi senjata tajam atau alat-alat perang dan peralatan kehidupan manusia khususnya yang terbuat dari logam. Ini sekaligus menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep bukanlah pemujaan kepada besi sebagaimana pemahaman masyarakat yang keliru selama ini.

Pada kenyataannya pelaksanaan upacara Tumpek Landep telah mengalami perubahan dalam pelaksanaannya sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Kata ”landep” yang berarti tajam menunjuk pada alat-alat kehidupan yang telah digunakan manusia sejak dahulu kala. Pada zaman berburu sudah dikenal beberapa senjata tajam yang terbuat dari batu atau logam untuk tujuan perburuan. Kemudian, pada masa bercocok tanam juga muncul peralatan-peralatan untuk bertani seperti, cangkul, sabit, dan sebagainya. Upacara ini semakin mendapatkan signifikansinya pada zaman kerajaan sehingga senjata tajam dan peralatan perang (landeping prang) menjadi objek utama dalam pelaksanaan Tumpek Landep. Akan tetapi, sekarang ini momentum Tumpek Landep digunakan umat Hindu untuk mengupacarai peralatan besi hasil teknologi modern seperti, mobil, sepeda motor, dan komputer. Ini menandakan telah terjadinya pergeseran dalam pelaksanaan Tumpek Landep dalam masyarakat Hindu. Namun pergeseran itu terjadi pada tataran fisik, bukan pada substansi maknanya. Pertanda ini sekaligus membuka peluang untuk melakukan reinterpretasi dan revitalisasi makna Tumpek Landep sehingga keberadaannya dapat didialogkan dengan konteks kekinian.

Upaya menyelami kedalaman makna Tumpek Landep dilakukan dengan menyimak kutipan lontar Sundarigama bahwa hakikat Tumpek Landep adalah mengasah ketajaman pikiran (landeping idep). Landeping idep dipandang menjadi spirit Tumpek Landep yang hendak dibangun sang kawi melalui lontar tersebut. Memahami spirit yang ingin dibangun sang kawi dan memadukannya dengan konteks kekinian merupakan langkah hermeneutis yang ditempuh untuk memaknai Tumpek Landep. Selain itu, dengan menggunakan Sundarigama sebagai landasan berpijak untuk menyelami makna Tumpek Landep maka pemaknaannya tidak kehilangan sentuhan otentik. Di sini lontar Sundarigama diposisikan pada otensitasnya sebagai susastra Hindu yang mengejewantahkan spirit ajaran suci Weda terutama mengenai ācāra agama.
Berkenaan dengan upacara Tumpek Landep Seperti dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra (II, 6) bahwa ācāra agama merupakan salah satu sumber ajaran agama Hindu.
Idhānim dharma pramānamyāha
Wedo ‘khilo dharma mūlam
smrti sile ca tadvidām
ācāra’scaiva sādhūnām
ātmanastustir eva ca

Artinya:
Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama dari Dharma, kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda; juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi.
Uraian sloka dalam Manawadharmasastra di atas menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep memiliki dasar sastra yang jelas. Selanjutnya, sastra inilah yang menjadi sumber kebenaran dari pelaksanaan Tumpek Landep sehingga melegitimasinya menjadi sistem ritual Hindu yang otentik dan utuh. Sistem ritual yang utuh setidak-tidaknya terbangun oleh (a) adanya sistem keyakinan yang mendasari pelaksanaan upacara; (b) tata cara pelaksanaan upacara (dudonan atau eed); (c) sarana ritual (upākāra); dan (d) pelaku upacara. Dengan memahami setiap komponen dari sistem ritual tersebut maka dapat digali keseluruhan makna dari ritual Tumpek Landep.

Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Landep

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra sering diberi awalan upa, yang bermakna sekitar sehingga kata upācāra bermakna sekitar tata cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian ācāra agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara (instrumen). Akan tetapi dalam pelaksanaannya upācāra agama Hindu terkadang menunjukkan adanya perbedaan di berbagai daerah sesuai dengan sima atau drsta-nya masing-masing.

Ācāra dalam maknanya sebagai kebiasaan memang memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata ”drsta”. Drsta berasal dari urat kata Sansekerta ”drs” yang berarti memandang atau melihat. Kemudian, kata ”drsta” memiliki makna konotatif yang sama dengan tradisi (Sudharma, 2000). Ācāra atau drsta dibagi menjadi 5 (lima), yaitu : (1) sastra drsta berarti tradisi yang bersumber pada pustaka suci atau sastra agama Hindu; (2) desa drsta berarti tradisi agama yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah tradisi agama yang berlaku secara umum dalam suatu wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun dan diikuti secara terus menerus sejak lama; dan (5) kula drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam keluarga tertentu saja (Sudharma, 2000). Perbedaan pelaksanaan ācāra agama karena perbedaan drsta ini hendaknya tidak menjadi masalah, tetapi sebaliknya menjadi kekuatan Hindu untuk menumbuh-kembangkan lokal jenius di setiap daerah sehingga Hindu dapat tampil dengan karakter lokal yang unik dan khas.

Berkenaan dengan pelaksanaan upacara Tumpek Landep menurut isi lontar Sundarigama di atas maka upacara ini difokuskan pada pemujaan Bhatara Siwa dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Pasupati. Adapun tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut.

(a) Di Sanggar Pamujan atau Sanggah/Merajan dihaturkan tumpeng putih selengkapnya, lauknya ikannya ayam, grih trasibang (ikan asin dan terasi merah), sedah, dan woh (buah-buahan). Banten ini dipersembahkan kepada Bhatara Siwa. Dengan pangastawa-nya sebagai berikut.

Om Namah Siwaya sarwaya
Dewa-dewa ya wai namah
Rudraya bhuwanesaya
Siwa rupaya wai namah
(Siwa Stawa dikutip dari Pudharta, 2008:4)

(b) Pada sarana yang akan diupacarai (senjata, alat-alat dari besi, mobil, motor, dan sebagainya) dihaturkan sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, dan canang wangi-wangi. Babantenan ini di-ayab-kan kepada semua sarana tadi dengan puja astawa dipersembahkan kepada Sanghyang Pasupati. Adapun pangastawa-nya sebagai berikut.

Om Namaste Bhagawan Wisno
Namaste Bhagawan Hare
Namaste Bhagawan Krsna
Jagat raksa namostute

(Pasupati Stawa dikutip dari Pudharta, 2008:10)

Dalam praktik keberagamaan Hindu nusantara yang tidak saja berasal dari etnis Bali maka tata cara pelaksanaan Tumpek Landep dapat disesuaikan dengan kebudayaan daerah masing-masing. Tradisi Jawa (kejawen) misalnya, juga mengenal ritual membersihkan senjata pusaka seperti keris, tumbak, dan pedang pada tanggal 1 Suro. Di keraton Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) upacara ini dilaksanakan secara besar-besaran dengan gelaran acara “Kirab Pusaka Kraton”. Ini menunjukkan bahwa tradisi yang sejenis dengan Tumpek Landep sangat mungkin ditemukan dalam berbagai tradisi lokal. Oleh karena itu, akan lebih baik jika tradisi lokal tersebut tetap dilanjutkan serta memadukannya dengan sentuhan khas Hinduisme sehingga tradisi ini melekat dalam sanubari umat Hindu di seluruh Indonesia.


Fungsi dan Makna Tumpek Landep
Bagi manusia religius keberadaan ritual memang begitu penting dalam kehidupannya. Melalui upacara manusia religius membangun semangat baru dalam kehidupannya, juga menggantungkan sebagian angan dan cita-citanya menuju kehidupan yang lebih baik (Sugito,ed. 2007:36). Dalam mewujudkan angan dan cita-cita kehidupan tersebut banyak jalan yang ditempuh manusia, sebagian rasional dan sebagian lainnya adalah jalan mistis. Pendekatan rasional saja ternyata tidak selamanya mampu membawa manusia pada realitas yang seiring sejalan dengan harapan sehingga manusia juga memerlukan jalan mistis, salah satunya melalui ritual keagamaan (sacrificial).

Ritual diharapkan menjadi kekuatan yang mampu menghubungkan manusia dengan Yang Gaib. Kehadiran spirit Yang Gaib (para Dewa, Bhatara) diharapkan menjadi kekuatan yang mampu menuntun dan mengarahkan manusia pada jalan yang benar menuju pencapaian tujuan hidupnya. Selain itu juga kehadiran para Dewa diharapkan menjadi pemberi anugerah keberhasilan atas usaha rasional yang telah dilakukan. Manungsa mung saderma nglampahi, Gusti ingkang mungkasi (manusia yang sebatas menjalani, Tuhanlah yang menentukan hasilnya), demikianlah manusia Jawa memaknai pentingnya kehadiran Yang Gaib dalam kehidupannya sehingga aktivitas ritual penting dilaksanakan.

Dalam konteks Hindu, upacara keagamaan dilakukan sebagai wujud karma dan bhakti marga yang menghubungkan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ajaran karma dan bhakti marga inilah yang menjadi spirit umat Hindu untuk menghaturkan persembahan terbaik dari apapun yang mereka miliki tanpa motivasi terhadap hasil yang berlebihan. Melalui jalan bhakti umat Hindu mengharapkan agar setiap gerak aktivitasnya mendapatkan kasih dari Hyang Widhi (manusa bhakti dewa asih). Dengan demikian segala karma yang dikerjakan akan mendapatkan pahala (phala) menurut hukumnya sehingga kebahagiaan dunia (jagadhita) dan kebebasan absolut (moksa) sebagai tujuan tertinggi diharapkan akan terwujud. Konsep bhakti dan karma marga ini seperti dijelaskan dalam Bhagavadgita Adhyaya III, sloka 10, 11, dan 12, sebagai berikut.

Saha-yajñāh prajāh srstvā,
puro’vāca prajāpatih,
Anena prasavi yadhvam,
eso vo’stv ista kāmadhuk.

Artinya:
Pada awal penciptaan, Prajapati (Penguasa Semua Makhluk) menciptakan manusia dan para dewa sambil menyampaikan sabda “Berbahagialah engkau dengan kurban suci (yajna) ini karena ia (yajna) akan menjadi kamadhuk yang menganugerahkan kepadamu kebahagiaan dan tercapainya pembebasan”.

Devān bhāvayatā’nena,
te devā bhāvayantu vah,
Parasparam bhāvayantah,
Śreyah param avāpsyatha

Artinya:
Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu. Dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebahagiaan yang mahatinggi.

Istān bhogān hi vo devā,
dāsyante yajña bhāvitāh,
tair dattān apradāyaibhyo,
yo bhunkte stena eva sah.
Artinya :
Dipelihara oleh yajna, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kamu ingini. Akan tetapi, ia yang hanya menikmati pemberian-pemberian ini tanpa menghaturkan persembahan kepada-Nya, sesungguhnya ia adalah pencuri.

Pelaksanaan Tumpek Landep merupakan wujud yadnya umat Hindu kepada Siwa dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Paśupati. Upacara ini menjadi media persembahan, ucapan terima kasih, sekaligus permohonan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Persembahan kepada Bhatara Siwa yang telah menganugerahkan pikiran (idep) kepada manusia sehingga mampu menggunakan cipta, rasa, dan karsanya untuk mencipta berbagai alat-alat teknologi yang berguna bagi kehidupannya. Ucapan terima kasih karena alat-alat kehidupan yang diciptakan telah memberikan berbagai kemudahan bagi manusia untuk menyelesaikan persoalan hidupnya, mendapat penghidupan yang layak, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa umat Hindu bukanlah “pencuri” yang hanya begitu saja menikmati anugerah Tuhan yang diberikan kepadanya. Kemudian, upacara ini juga berfungsi untuk memohon anugerah Paśupati, yakni spirit yang akan menuntun manusia untuk menggunakan setiap instrumen kehidupannya dengan benar sehingga instrumen itu berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupannya, bukan sebaliknya menjadi penghancur kehidupan umat manusia.

Di samping fungsinya sebagai wujud pengungkapan bhakti, momentum pelaksanaan Tumpek Landep sesungguhnya adalah penyadaran kepada manusia mengenai instrumen terpenting dalam kehidupannya, yaitu idep (daya pikir). Hindu meyakini bahwa keutamaan manusia dibandingkan makhluk lainnya adalah pada idep-nya. Dikatakan bahwa tumbuh-tumbuhan hanya memiliki kekuatan hidup (bayu), binatang memiliki bayu dan kemampuan berkomunikasi menurut cara binatang (bayu dan sabda), sedangkan manusia di samping memiliki bayu dan sabda, juga memiliki kemampuan berpikir (idep). Kemampuan berpikir (idep) inilah yang menjadikannya makhluk termulia dibandingkan tumbuhan dan hewan. Upadeśa juga menjelaskan bahwa manusia yang berasal dari kata “manu” berarti makhluk berpikir. Jadi, memahami pikiran manusia adalah memahami hakikat manusia itu sendiri, yakni kemanusiannya.

Menurut Poedjawijatna (1986: 54) dasar kemanusiaan adalah akal - budi dan kehendak (yang bebas) manusia. Akal - budi adalah daya tahu manusia dan kehendak adalah daya pilih manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa yang memanusiakan manusia ialah daya tahu (budi) dan daya pilih (kehendak). Karena kedua unsur ini disebut pribadi maka manusia mempunyai kepribadian. Untuk melakukan pilihan, manusia harus tahu akan yang dipilih itu. Artinya, agar dapat memilih yang baik, budi haruslah memiliki pengetahuan yang benar tentang baik dan buruk. Itulah sebabnya, manusia susila (yang bertindak menurut kemanusiaannya) ialah orang yang selalu memilih tindakan yang menurut keyakinannya (penerangan budinya) adalah baik. Ini merupakan esensi kemanusiaan yang tidak pernah berubah dalam perkembangannya.

Pengertian idep dalam konteks Tumpek Landep tampaknya tidak tepat jika disamakan dengan manah (pikiran) yang hanya identik dengan daya tahu manusia. Mengingat manusia dalam dirinya juga memiliki kehendak dan ego yang menyempurnakan hakikat kemanusiaannya. Kata ”idep” lebih tepat dijelaskan dalam terminologi ”citta” atau alam pikiran menurut ajaran Samkhya-Yoga. Seperti dijelaskan oleh Maharsi Patanjali bahwa :

”Citta atau alam pikiran dibangun atas tiga komponen, yaitu manah, buddhi, dan ahamkara. Manah ialah bagian dari alam pikiran yang mempunyai kemampuan merekam kesan-kesan dunia luar yang diterimanya melalui indriya. Kesan-kesan itu dibedakan dan dianalisa oleh buddhi. Atas kecakapan buddhi inilah orang dapat mengadakan reaksi terhadap kesan-kesan itu. Ahamkara adalah rasa aku, rasa ego yang mengklaim semua kesan-kesan itu sebagai miliknya” (Sura, 1985: 2).

Meskipun manah (pikiran), buddhi (budi), dan ahamkara (ego) seolah-oleh menjadi entitas yang berbeda, tetapi kerja ketiganya menuntut adanya kesatuan. Ketika manah menangkap kesan maka buddhi mengidentifikasi dan menganalisis kesan tersebut, sebelum kemudian ahamkara menyadari bahwa kesan itu adalah rangsang yang ditujukan pada ke-aku-annya. Inilah yang mengakibatkan manusia melakukan berbagai respon atas semua kesan yang ditangkap oleh panca indera. Dari sekian banyak kesan yang ditangkap panca indera, baik kesan dari dalam diri maupun dari luar diri sebagian daripadanya adalah menyadarkan manusia pada kebutuhan hidupnya. Kebutuhan makan misalnya, lahir dari kesan lapar yang direkam oleh manah, kemudian dianalisis oleh buddhi hingga akhirnya ahamkara menyatakan bahwa ”aku sedang lapar sehingga aku harus makan”. Demikianlah, melalui kerja idep inilah manusia menyadari bahwa makan adalah kebutuhan hidup untuk mempertahankan eksistensinya.

Dalam pelaksanaannya Tumpek Landep secara empiris ditujukan kepada senjata tajam dan alat-alat tekhnologi. Sejalan dengan upaya manusia untuk mempertahankan eksistensinya maka alat-alat inilah yang digunakan manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa alat-alat ini juga lahir dari kerja manusia itu sendiri yang bersumber dari kemampuan berpikirnya. Artinya, sesungguhnya idep juga yang menjadi penentu dari lahirnya berbagai alat teknologi yang berguna menopang kehidupan manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa senjata tajam dan alat-alat tekhnologi yang diupacarai dalam Tumpek Landep tiada lain adalah simbol dari idep itu sendiri. Kedua-duanya menjadi instrumen penting manusia untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya sehingga melalui pemujaan kepada Hyang Pasupati keduanya diharapkan dapat memberi lebih banyak manfaat bagi manusia dan kemanusiaannya.
Pemahaman terhadap makna instrumen hidup ini penting juga untuk digali lebih lanjut di tengah-tengah menguatnya pengaruh virus akal budi dalam kehidupan manusia modern. Meluasnya pengaruh virus akal- budi ke seluruh pelosok dunia telah menghimpun sebagain besar manusia dalam komunitas manusia rasional, yakni manusia yang mendewakan rasionalitas sebagai satu-satunya sumber mendapatkan kebenaran. Positivisme dengan klaimnya bahwa pengetahuan yang benar jika dan hanya jika rasional, empiris, dan berlaku umum (Hadiwijono, 1980:111), semakin mengukuhkan posisi manusia sebagai sumber dari kebenaran, yakni dengan keunggulan akal-budinya yang sekaligus membedakannya dari makhluk lain. Oleh karena itu pemujaan yang berlebihan terhadap karya cipta ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern.

Upaya manusia dalam menemukan pengetahuan benar melalui pikirannya ternyata tidak selamanya berbuah manis. Pengakuan bahwa eksistensi manusia ada pada pikirannya telah membawa manusia modern semakin menjauh dari spiritualitas. Sebagaimana dinyatakan Radhakrisnan (1987:9) bahwa kemanusiaan sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Perkembangan sains dan teknologi tidak disertai dengan kemajuan yang sama di bidang spiritualitas, bahkan spiritualitas makin rapuh dibawa arus materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern. Kondisi ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan pada sisinya yang lain telah menyimpang dari tuntutan aksiologisnya, yakni meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam kemanusiaannya.
Oleh karena itu, upacara Tumpek Landep mengajak manusia untuk kembali memahami hakikat pikirannya sebagai bagian dari tubuh yang menjadi alat bagi sang jiwa sejati (atman) untuk mencapai pembebasan. Dijelaskan dalam Bhagavadgita, II.22 bahwa :

“Vasamsi jirnani yatha vihaya
Navani grhnati naro parani
Tatha sarinani vihaya jirnany
Anyani samyati navani dehi”
Artinya:
“seperti halnya seorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian lama. Bagitu pula sang roh menerima badan-badan jasmani yang baru dengan meninggalkan badan-badan lama yang tidak berguna”.

Penegasan bahwa tubuh manusia, termasuk pikiran yang ada di dalamnya adalah pengetahuan rohani yang hendak diajarkan oleh Sri Krishna melalui Bhagavadgita. Menurut Bhagavadgita bahwa tubuh manusia seluruhnya adalah lapangan pengetahuan yang penting dipelajari, dimengerti, dan dipahami sehingga manusia mampu menggunakan tubuhnya (pengetahuannya) menjadi alat yang berguna bagi perjalanan sang atman menuju kebebasan abadi. Disebutkan dalam Bhagavadgita, Adhyaya XIII, sloka 6-7 sebagai berikut.
“Maha bhutany ahankaro buddhir avyaktam eva ca
Indriyani dasaikam ca panca cendriya gocarah”

“Iccha dvesah sukham duhkam sanghatas cetana dhrtih
Etat ksetram samasena sa vikaram udahrtam”
Artinya :
Lima unsur besar (panca mahabhuta), keakuan palsu (ahamkara), kecerdasan (buddhi), yang tidak berwujud (avyaktam), sepuluh indria (dasendriya) dan pikiran, lima objek indria, keinginan, rasa benci, kebahagiaan, duka cita, jumlah gabungan, gejala-gejala hidup, dan keyakinan-keyakinan -- sebagai ringkasan, semua unsur tersebut merupakan lapangan kegiatan dan hal-hal yang saling mempengaruhi dari lapangan kegiatan.

Upacara Tumpek Landep yang selama ini dipahami sebagai otonan atau pawedalan semua peralatan dari besi selayaknya direfleksikan untuk memahami hakikat idep atau citta. Artinya, untuk mendapatkan pengetahuan rohani yang benar adalah benar untuk memahami terlebih dahulu seluruh kekuatan materi yang melingkupinya. Manusia yang berkesadaran tentu adalah mereka yang mampu membedakan antara “yang rohani” (hakikat) dan “yang materi” (instrumen/alat). Mengingat kegagalan dalam membedakan kedua aspek ini akan membawa manusia pada belenggu dualisme paradoks yang akan menghalangi sang atman menuju pembebasan sejati (moksa).

Citta adalah hasil evolusi pertama dari prakerti yang merupakan gabungan dari buddhi, ahamkara, dan manas. Citta memantulkan kesadaran purusa sehingga citta menjadi sadar dan berfungsi dengan bermacam-macam cara. Sedangkan purusa sendiri menyamakan dirinya dengan citta akibat dari kebodohan (awidya) sehingga tampak mengalami semua perubahan dari citta. Ketika citta berhubungan dengan suatu objek maka melalui manah ia mengetahui objek itu. Citta mengalami perubahan-perubahan yang bermacam-macam dalam menyesuaikan diri dengan objek. Bentuk perubahan citta dalam menyesuaikan diri dengan objek ini disebut vrtti. Bila citta diubah ke dalam suatu jenis vrtti atau keadaan mental yang mengamati maka roh dipantulkan pada keadaan ini dan mungkin menyatakan keadaan itu keadaannya sendiri. Ia memandang dirinya mengalami kelahiran, kematian, tidur, jaga, berbuat salah, berbuat benar, dan sebagainya. Meskipun roh pada dirinya sendiri adalah bebas dari semua aktivitas badani, tetapi ia tampak menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan, sebagai berikut.
  1. Awidya berarti ketidaktahuan. Akibat dari ketidaktahuan ini maka citta mendapatkan pengetahuan yang salah, yaitu seperti menganggap yang bukan roh sebagai roh, yang tidak kekal sebagai kekal, yang tidak suci sebagai suci;
  2. Asmita (sangka diri) yaitu memandang roh sama dengan citta sehingga lupa bahwa dirinya sendiri adalah purusa yang murni;
  3. Raga berarti terikat pada nafsu dan keinginan. Keterikatan ini menyebabkan manusia terus menerus melakukan aktivitas untuk memenuhi nafsu dan keinginan itu sehingga terbelenggu oleh ikatan-ikatan karma dan membawanya pada kelahiran berulang-ulang (samsara);
  4. Dwesa berarti kebencian. Kebencian terjadi akibat keengganan untuk menderita. Kebencian selalu muncul terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan;
  5. Abbhinivesa berarti rasa takut pada kematian atau keinginan untuk terus menerus hidup.
Dengan memahami hakikat citta melalui pendalaman makna Tumpek Landep maka citta diupayakan menjadi lebih tajam (landeping idep). Mengingat citta yang tercerahi oleh pengetahuan rohani tidak akan lagi terpengaruh oleh aktivitas triguna sehingga dirinya menjadi suci murni dan tanpa perubahan. Cara satu-satunya untuk menghentikan semua gerak citta ini adalah melaksanakan yoga. Demikian dikatakan oleh Maharsi Patanjali ”yoga citta vrtti nirodhah” (membebaskannya dari segala penderitaan dengan jalan menghentikan semua aktivitas citta). Ketika citta telah berada dalam keadaan murninya maka purusa-pun tidak dipantulkan lagi. Artinya, purusa terbebas dari kesengsaraan karena telah menyadari dirinya sebagai diri yang sejati, berbeda dengan pikiran (manas), ego (ahamkara), maupun buddhi. Inilah yang disebut jivanmukta (Baba, 1982).

Uraian di atas menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep dibangun oleh sistem makna yang berlapis. Berangkat dari ritual menuju tattwa; dari pelaksanaan bhakti-karma menuju pengetahuan rohani tertinggi (jnana-raja yoga). Oleh karena itu, pelaksanaan upacara Tumpek Landep perlu dipertahankan keberlanjutannya karena makna yang terkandung begitu dalam. Landeping idep yang diusahakan melalui pemujaan dan pemusatan kontemplasi kepada Sanghyang Pasupati adalah tujuan utama dari pelaksanaan upacara ini. Dengan penajaman idep ini diharapkan manusia memiliki kesadaran mengenai hakikat rohani sehingga manusia tidak diperbudak oleh pengetahuannya sendiri. Sebaliknya, dengan kekuatan pikirannya manusia dapat mencipta dan menggunakan berbagai alat kehidupan hanya untuk menopang eksistensinya, dan sama sekali itu bukan menjadi tujuan hidup.

Tumpek Landep dan Pengembangan IPTEK
Kehidupan modern yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Alat-alat teknologi canggih begitu banyak tercipta sehingga hampir seluruh aktivitas manusia mendapatkan pertolongannya. Masyarakat modern pun menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berburu alat-alat tersebut, bahkan menjadikannya tujuan hidup demi pemuasan nafsu-selera. Ketika instrumen telah menjadi tujuan maka perlahan-lahan manusia kehilangan daya kreatifnya karena lebih senang menempatkan dirinya sebagai konsumen. Di sinilah perlu adanya kesadaran baru untuk menjadikan Tumpek Landep sebagai spirit pengembangan daya kreatif manusia sehingga manusia mampu mencipta lebih banyak lagi instrumen yang mampu menunjang kebutuhan hidupnya, bukan sebaliknya.

Daya kreatif manusia akan muncul apabila manusia memahami kebutuhan hidup untuk menopang eksistensinya. Upaya pemenuhan kebutuhan hidup inilah yang membuat manusia harus menciptakan berbagai macam teknologi. Seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia maka teknologi pun berkembang menuju titik yang lebih maju. Misalnya, teknologi pertanian yang dulunya hanya menggunakan cangkul dan sabit, kini telah digantikan oleh traktor. Demikian pula semakin beragamnya jenis pekerjaan manusia juga menuntut diciptakannya alat-alat teknologi yang beraneka macam pula. Demikian sesungguhnya bahwa semakin manusia memahami kebutuhan hidupnya maka semakin besar pula peluang manusia menjadi aktif-kreatif.

Penciptaan teknologi untuk menunjang pemenuhan kebutuhan manusia sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Mengingat pemenuhan kebutuhan manusia adalah bagian dari upaya manusia untuk merawat tubuhnya sehingga tetap dapat digunakan oleh sang jiwa hingga tercapainya kelepasan. Seperti dijelaskan dalam Katha Upanisad I, 3 sebagai berikut.

“Atmanam rathinam viddhi, sariram rathamtu,
Buddhim tu saredam viddhi, manah pragraham eva ca”
Artinya :
Ketahuilah bahwa Sang pribadi (atman) adalah Tuannya kereta, badan adalah kereta. Bahwa kebijaksanaan adalah kusir, dan pikiran adalah tali kekangnya”.

Seloka ini menegaskan bahwa badan ibarat kereta yang akan mengantarkan sang atman untuk mencapai pembebasan. Agar kereta ini dapat berjalan menuju tujuannya maka kereta itu harus kokoh dan kuat. Selain itu, juga diperlukan kusir yang bijaksana dan tali kekang yang kuat sehingga laju kereta itu dapat dikendalikan. Apabila kereta adalah badan maka kuda penariknya adalah indera manusia yang dikendalikan oleh pikiran, sedangkan pikiran dikendalikan oleh kebijaksanaan. Demikianlah perumpamaan badan manusia yang menjadi kereta dari sang atman haruslah dalam keadaan sehat dan kuat sehingga badan ini tidak hancur sebelum sang atman mencapai tujuannya.

Perumpamaan ini juga dapat dijadikan spirit dalam menyelaraskan arah perkembangan pengetahuan sehingga tidak bertentangan dengan tujuan pengetahuan itu sendiri, yakni pemuliaan kemanusiaan. Artinya, pengembangan IPTEK haruslah diarahkan untuk membentuk manusia yang berkualitas secara jasmani maupun rohani serta tetap berada dalam kendali etika-moralitas. Ini dapat diwujudkan apabila pengembangan IPTEK didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia, bukan untuk nafsu keserakahan. Seperti misalnya, pembuatan senjata pemusnah massal betatapun canggihnya tekhnologi tersebut, sama sekali tiada guna. Dengan demikian perkembangan IPTEK menurut spirit Tumpek Landep haruslah dituntun oleh kebijaksanaan sehingga kreativitas tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Selain menjadi spirit pengembangan IPTEK yang tunduk pada nilai kemanusiaan, Tumpek Landep semestinya juga dapat menjadi penyemangat kehidupan manusia untuk memenangkan persaingan pada berbagai bidang kehidupan. Hal ini setidak-tidaknya dapat digali dari makna kalimat “sarwa sanjata landep ing prang” (semua senjata yang tajam dalam perang) yang tertuang dalam kitab Sundarigama. Ungkapan ini bermakna bahwa kehidupan manusia senantiasa berada dalam kondisi persaingan, baik secara material maupun spiritual. Secara material bahwa manusia bersaing untuk memperebutkan sumber-sumber kebutuhan yang terbatas sifatnya untuk memenuhi kebutuhan (baca: keinginan) manusia yang tanpa batas. Sebaliknya, secara spiritual bahwa manusia senantiasa mengalami pergulatan di dalam dirinya, antara kebaikan dan keburukan sebagai akibat dari aktivitas triguna. Persaingan ini akan dapat dimenangkan oleh manusia apabila ia memiliki senjata yang tangguh (landep) dan berfungsi sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
Dalam ajaran Hindu, pengetahuan mengenai ilmu perang dimuat dalam kitab dhanur veda. Dhanur berarti panah dan veda berarti pengetahuan. Konon, ilmu panah adalah puncak dari semua ilmu perang sehingga kesempurnaan dari seorang Ksatriya diukur dari keberhasilannya menguasai ilmu memanah. Panah adalah senjata jarak jauh yang ketepatannya diukur dari ketajaman sang pembidik. Panah inilah sesungguhnya kekuatan pikiran manusia yang mampu menembus ruang dan waktu. Untuk memenangkan semua pergulatan hidup maka pikiran manusialah yang mesti diasah terus menerus dan Tumpek Landep memberikan cara melakukan penyucian melalui pemujaan kepada Sanghyang Pasupati.

Dalam kitab Manawadharmasastra Bab V, sloka 109, dijelaskan mengenai penyucian sebagai berikut.
”abdhir gatrani suddhayanti
manah satyena suddhyati
vidyatapobhyam bhuttatma,
buddhir jnanena suddhyati”
Artinya:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran (satya), jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, dan kecerdasan disucikan dengan pengetahuan yang benar (jnana).

Sloka ini menegaskan bahwa diri manusia harus senantiasa disucikan, baik badan, jiwa, pikiran, maupun buddhinya. Diri yang tersucikan, baik jasmani maupun rohani menjadi penentu kualitas diri manusia sehingga siap menghadapi kehidupan yang penuh kontradiksi nilai dan norma. Kekuatan diri ini juga menjadi syarat mutlak bagi manusia untuk memenangi berbagai kompetisi dalam kehidupannya. Dalam hal ini manah dan buddhi sebagai pembangun sistem pengetahuan manusia perlu diasah dan disucikan terus menerus dengan kebenaran dan pengetahuan yang benar. Oleh karena itu pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dalam pemaknaan terhadap upacara Tumpek Landep.

Pendidikan merupakan syarat mutlak terbentuknya sumber daya manusia (SDM) yang handal untuk meningkatkan daya saing bangsa. Mengingat hanya manusia berpengetahuan-lah yang akan survive dalam kehidupan ini. Sebagaimana perkembangan teknologi dari masa ke masa menunjukkan hasil dari akumulasi pengetahuan manusia dalam menyiasati kehidupannya, seiring dengan perubahan alam-lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Menjadikan Tumpek Landep sebagai spirit untuk peningkatan kualitas SDM dan daya saing bangsa merupakan langkah maju yang perlu diapresiasi bersama. Ini sekaligus menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep bukanlah semata ritual yang terberi dan terwariskan, melainkan ritual yang penuh visi ke depan. Seperti juga Hindu yang hadir di dunia untuk membawa kedamaian dan kebahagiaan semua makhluk (sarwa prani hitangkara).

Penutup
Upacara Tumpek Landep yang hadir setiap Saniscara Kliwon wuku Landep adalah pemujaan kepada Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Pasupati. Tumpek Landep terutama menjadikan senjata dan semua peralatan yang terbuat dari besi menjadi sthana Sanghyang Pasupati. Upacara ini merupakan wujud bhakti dan karma umat Hindu, baik sebagai sarana pemujaan, ucapan terima kasih, sekaligus permohonan kepada Hyang Widhi atas anugerah berupa peralatan dari besi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun demikian makna Tumpek Landep adalah landeping idep, yakni mengasah kekuatan idep (citta) dan berpuncak pada pengetahuan rohani mengenai pengendalian citta untuk mencapai jivanmukta.
Dalam kehidupan masyarakat modern, kekuatan citta yang terdiri atas pikiran (manah), kecerdasan (buddhi), dan ego (ahankara) dapat diarahkan menjadi spirit dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK). Mengingat idep adalah potensi dasar manusia yang menjadikannya unggul, serta dengannya manusia dapat survive dalam kehidupan yang penuh kompetisi, serta kontradiksi nilai dan norma. Dengan demikian Tumpek Landep tetap dilaksanakan oleh umat Hindu menjadi ritual untuk membangun kesadaran idep secara berkesinambungan dalam sistem makna yang selalu terbuka untuk didialogkan pada setiap zaman.

Makna dan Filosofi Tumpek Landep Yang Tidak Boleh Dilupakan

tumpeklandep
 Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki seribu pura, tradisi dan budaya yang saling mengisi dan melengkapi dengan ajaran agama Hindu. Bagi warga Bali yang mayoritas Hindu memiliki sebuah tradisi yang dinamakan Tumpek Landep. Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Hari raya Tumpek Landep sendiri merupakan rentetan setelah hari raya saraswati, dimana pada hari ini umat hindu melakukan puji syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati.

Makna Tumpek Landep

Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali. Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang artinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris.
Dewasa kini, senjata lancip itu sudah meluas pengertiannya. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh disalah artikan, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.

Filosofi Tumpek Landep

Dalam Tumpek Landep, Landep yang diartikan tajam mempunyai filosofi yang berarti bahwa  Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai – nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Tumpek landep merupakan tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran – ajaran agama. Pada rerainan tumpek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur.
Menurut Dharma Wacana dari Ida Pedanda Gede Made Gunung, Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.
Jadi bisa disimpulkan menurut pendapat kami bahwa Pada Rahina Tumpek Landep hal yang paling utama yang tidak boleh dilupakan ialah hendaknya kita selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan kita dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan serta mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri.