Tulisanku

Pande_Eka .... Salam Panbers

Jumat, 27 Januari 2017

Pande Bang

Pada zaman ini para pande yang datangnya bersama Sri Kesari Warmadewa berasal dari Indonesia berdiam berkelompok di empat tempat. Yaitu:
  1. kelompok pande yang berdiam di daerah Besakih dan sekitarnya.
  2. kelompok pande yang berdiam disekitar daerah Renon (badung) dan sekitarnya.
  3. kelompok pande yang mendiami pingiran Danau Tamblingan.
  4. kelompok pande yang tingal dipejeng.
Dari keempat tempat pande yang bermukim di Danau Tamblingan mendapat perlakuan istimewa karena jenis barang yang mereka hasilkan bersifat istimewa serta skill/kepandaiannya yang mereka sangal unggul. Ada keistimewaan lain pada mereka yaitu mereka dibebaskan dari segala pajak yang mestiya harus dibayar oleh penduduk.
Terpecahnya warga pande yang bermukim  di Danau tamblingan karena pada saat itu Raja Sri Tapolung yang bergelar ”Bhatara Cri Asta Asura Ratna Bumi Banten” menyatakan dirinya tidak lagi tunduk kepada kekuasaan Raja Jawa ( Majapahit ). Sehingga raja majapahit menghukum atas sikapnya, Raja Majapahit Sri Hayam Wuruk mengirim pasukan untuk menyerang Bali. Sasaran utamanya adalah warga Pande yang ada di Danau Tamblingan karena diangap senjata-senjata penguasa Sri Tapolung berada di daerah ini. Penduduk lainnya yang berada dipingiran Danau Tamblingan ikut melahirkan diri dan kebanyakan dari mereka menyembuyikan diri ke hutan sebelah barat danau (daerah Gobleg).
Penguasa Bali kemudian setelah Sri Tapolung yaitu Dalem Semara Kepakisan (Dalem Ketut Ngulesir) yang memerintah Bali dari istananya di Gelgel merasa perlu untuk memanggil kembali para pande yang telah lari meningalkan danau Tamblingan agar kembali ke asalnya.
Demikianlah keadaan dari keempat kelompok pande Bang pada zaman Sri Kesari Warmadewa sampai zaman Pejeng. Keempat kelompok yang mengikuti Sri Kesari Warmadewa tersebut dinamakan pande bang termasuk didalam Pande Bangke Maong, alias Pande Tamblingan. Ada dolemik dalam masyarakat Bali setelah kehancuran kerajaan pejeng tentang nama Pande Bangke Maong. Julukan ini diberikan kepada kelompok pande yang kalah perang bahwa mereka mati nantinya mayatnya akan menjadi maong.
Demikian bencinya para penguasa baru kepada para pande sehinga nama Pande Bangke Maong menjadi momok/menakutkan bagi seluluh keluarga pande dan mereka menghindari dirinya disebut Pande Bangke maong.Penguasa akan membunuh pande yang benar-benar adalah keturunan Pande bangke Maong. Kemudian muncul semacam sanggahan halus dari para pande yang menyatakan bahwa pengucapan Pande Bangke Maong  sebenarnya adalah Pande Bang Kemaong (pande bang saja)

Warga Pande Dilarang Menggunakan Tirtha Sulinggih Lain?

Larangan memakai tirtha sulinggih lainnya adalahh bhisama keempat, adalah bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala mengenai larangan menggunakan tirtha dari sulinggih lainnya. Larangan ini sama sekali bukan didasari oleh niat merendahkan atau melecehkan sulinggih dari keturunan yang lain (bukan warga Pande). Tetapi menyangkut beberapa hal prinsip yang harus dipahami oleh warga Pande. Warga Pande sangat menghormati dan memuliakan setiap sulinggih dari warga/soroh apapun beliau berasal. Bhisama itu berbunyi: 
"yan kita angupakara sawa, aywa kita weh aminta tirtha ring brahmana panditha. Ngong anugraha kita riwekas, samangda kita tan kanarakan".
Terjemahan :
Kalau engkau mengupacarai mayat, jangan meminta tirtha dari brahmana Pandita, aku peringatkan engkau agar engkau tidak sengsara di kemudian hari.
Selanjutnya; 
"mwah yan kita mayadnya suka mwang duka, aywa nurunakna tirtha brahmana. Nguni kawitan ta kita madiksa widhi krama minta nugraha ring paduka bhatara. Mangkana kengeta. Aja lali, weruhakna mwang sanak ira kabeh, kita kabeh aywa lupa ring aji dharma kapandeyan, aywa kita lupa ring kajaten". 
Terjemahan :
Dan lagi kalau engkau menyelenggarakan upacara yadnya yang bersifat suka dan duka, jangan nuhur tritha brahmana. Mengapa? Karena sejak dulu leluhurmu madiksa widhi krama, memohon panugrahan langsung kepada Ida Bhatara. Demikianlah, ingatlah selalu. Jangan lupa, beritahukanlah hal itu kepada seluruh keturunanmu kelak. Janganlah lupa pada Aji Dharma Kapandeyan. Janganlah lupa pada jati dirimu.
Melihat Bhisama di atas jelaslah bahwa penggunaan tirtha Sira Mpu Pande dikalangan warga Pande adalah untuk setiap upacara atau Panca Yadnya. Beberapa alasan warga Pande menggunakan sulinggih dari keturunan Pande atau lazim dikenal dengan Sira Mpu adalah sebagai berikut :
  1. Pemakaian Sira Mpu adalah penerusan tradisi leluhur yang telah berlangsung sejak jaman sebelum kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Bali, jauh sebelum Beliau datang warga Pande telah memiliki sulinggih sendiri yaitu Sira Mpu. Tradisi itulah yang telah diwariskan dari genari ke genarasi, kendatipun pada saat jaya-jaya sistem kerajaan di Bali, banyak rintangan dan hambatan yang dialami oleh warga Pande, karena banyak warga desa yang melarang pemakain Sira Mpu oleh warga Pande; 
  2. Warga pande tidak menggunakan Sulinggih lain, karena ada mantra-mantra khusus yang tidak dipakai oleh Sulinggih lainnya, khususnya yang berkaitan dengan Bhisama Panca Bayu. Mantra-mantra yang tidak boleh dilupakan oleh warga Pande yang berhubungan erat dengan profesi Pande; 
  3. Warga Pande seperti warga/soroh lainnya di Bali, memiliki aturan tersendiri dalam pembuatan kajang kawitan. Kajang kawitan Pande hanya dipahami secara mendalam oleh Sira Mpu atau pemangku pura kawitan sehingga hanya merekalah yang berhak membuat kajang kawitan Pande; 
  4. Tata cara pediksaan di kalangan warga Pande sangat berbeda dengan tata cara pediksaan dikalangan warga lain, khususnya keturunan Dang Hyang Nirartha. Perbedaan ini sangat prinsip bagi warga Pande, di mana warga Pande melakukan pediksaan dengan sistem Widhi Krama.
Kalau dianalogikan, pelarangan penggunaan sulinggih lain, adalah seperti orang sakit mencari dokter. Kalau sakit gigi hendaknya dicari dokter gigi, jangan mencari dokter jantung atau lainnya. (oleh blog warga pande)

Nb : terkait Bhisama Keempat ini, bagaimana kalau di tempat kita tidak ada Sira Mpu? Apakah kita tidak jadi melakukan upacara? Menurut kami sekiranya dapat disesuaikan dengan situasi kondisi terkait upacara yang akan dilakukan. Penggunaan Sira Mpu ada baiknya tidak terlalu ngotot dijalankan apabila upacara dilakukan secara massal yang melibatkan banyak soroh atau wangsa lainnya, seperti di bale banjar, sekolah, kantor, pura yang disungsung masyarakat luas (khayangan tiga, khayangan jagat, sad khayangan, dll.) ataupun tempat umum lainnya. Jika itu tetap kita paksakan (dalam kondisi tersebut), mungkin ini akan menimbulkan banyak polemik dan masalah nantinya. Namun, dalam hal ini penggunaan tirtha kawitan pande lah yang harus tetap digunakan, karena tirtha ini yang menjadi poin pokok menyelesaikan segala permasalahan terkait bhisama keempat.  

Babad Pande Tista

Isi Singkat Babad Pande Tista






Setelah De Bandesa Kaywan yang mempunyai seorang istri yang bernama Ni Luh Kaywan yang meninggal dalam usia muda. De Bandesa sangat sedih lalu datanglah seorang Brahmana dari Daerah Kling yang bernama Danghyang Kanaka. Seorang Brahmana (Danghyang Kanaka) kemudian mengawini putrinya De Bandesa serta melahirkan Sira Mas dan Pangeran Manokling.
Diceritakan Pangeran Kayu Mas setelah dewasa menjadi seorang pandai besi yang sangat terkenal di Desa Kayu Mas. Kemudian Dang Hyang Kanaka kembali ke Jawa, sebelumnya beliau sempat memberikan ajaran-ajaran (swadharma) seorang pandai besi. Kakeknya Pangeran Kayu Mas yang bernama De Bandesa Kaywan ketika meninggal dibuatkan upacara dengan menggunakan bade bertingkat 5 dan patulangan (tempat jasad ketika upacara Ngaben) berwujud seekor Gajah.
Setelah selesai upacara kakeknya, Pangeran Mas kawin dan mempunyai 3 orang putra bernama Sira De Kayu Mas, menjadi pandai di Daerah Badung, dan putranya yang kedua tidak melaksanakan swadharma ayahnya tetap tinggal di desa Kayu Mas.
Tentang asal-usul dari De Bandesa Kaywan adalah mulai dari Sanghyang Pamaca kawin dengan putri Empu Bahula yang bernama Dewi Dwaranjika. Dalam perkawinan itu lahirlah Empu Wira Dharma dan Sira Mpu Pamacekan, Sira Mpu Pamacekan kawin dengan Ni Ayu Subrata melahirkan lah Sang Arya Pamacekan. Sang Arya Pamacekan kawin dengan putri Ki Gusti Kapasekan yang bernama Ni Gusti Luh
Pasekan dan melahirkan I Gusti Bandesa Kaywan.

Diceriterakan Ida Mas beristri dan mempunyai 3 orang putra yang mengadakan adanya Pande Besi. Adik dari De Kayu Mas mengungsi ke Dukuh Sni, setelah lama di sana lalu pindah ke Gelgel dan tunduk kepada Ki Gusti Mambal yang menurunkan Pande Kamasan, Ki Gusti Sakti pindah dari Gelgel dan beliau mendirikan rumah di Desa Mambal yang diiringkan oleh para Arya seperti Pangeran Sukahet, I Gusti Lambing, I Gusti Bondalem, I Gusti Sudataya dan I Gusti Kamasan keturunan Bandesa Gelgel. Juga diceriterakan Ki Gusti Ngurah Mambal Sakti pindah dan mendirikan istana di Desa Sibang Selatan yang diberi nama Puri Ngurah. Ida Peranda Mambal membangun istana di Geria Lalangon, I Pande Kamasan ikut pindah ke Sibang.
Kemudian dikatakan putra Ida Padanda Mambal yang bernama Ida Ketut Manuaba pindah dari Sibang, pindah/ mengungsi ke Swanegara Jembrana yang diiringkan oleh turunan I Pande Kamasan yang datang dari Panarukan. Ki Pande mengungsi ke Desa Tista Kerambitan.

Nama/ Judul Babad :
Babad Pande Tista
Nomor/ kode :
Va. 4713, Gedong Kirtya Singaraja
Koleksi :
Kakiang Dayu Putu Muliani.
Alamat :
Geria Gede Panarukan. Kecamatan Kerambitan, Tabanan
Bahasa :
Jawa Kuna
Huruf :
Bali
Jumlah halaman :
6 lembar.
Ditulis oleh :
Sagung Putri

Benarkah Perkawinan Beda Soroh Menyebabkan Kepanesan?

Om swastyastu ratu nak Lingsir.
Tiang meduwe pitaken.
Tiang pernah dengar tentang perkawinan beda soroh yang menyebabkan kepanesan.
Jakti nike kalau wanita pande menikah dengan pria pasek harus metebus ke pande.
Matur suksma nak lingsir mangda dijawab. +6283119436xxx
Ini adalah cara pandang keluarga atau Kula Drestha.
Namun pada hakikatnya, tidak ada perkawinan soroh.
Tapi terlanjur kita di Bali diberikan pemahaman serampangan.
Kalau tidak dilakukan seperti ini, maka akibatnya akan seperti itu dan seterusnya.
Kasus ini hanya masalah keyakinan saja.
Sebuah keluarga jika memiliki status maka naiklah daya tawarnya.
Saat itu akan terjadi banyak simbol-simbol yang harus dipenuhi untuk sebuah perkawinan.
Namun kembali ke pikiran.
Jika pikiran kita terus dihantui atau dibayang-bayangi ketakutan, maka bisa jadi hal itu menjadi nyata.
Apabila dengan jalan upacara penebusan merasa tenang, silakan saja lakukan. (*)

Pengetahuan kecil tentang soroh PANDE

Sekali-sekali saya selaku penulis seluruh isi blog ini pengen juga ber-Narzis-ria, satu hal yang jarang saya lakukan belakangan ini, sejak dikritik oleh seorang rekan kantor yang kini jadi malas berkunjung lantaran Narzis tadi itu. 
Tentu saja postingan ini bakalan berlanjut ke posting berikutnya yang isinya jauh lebih Narzis. Mohon untuk dimaklumi.
***
penataran.jpg
PANDE merupakan salah satu dari empat soroh yang terangkum dalam Catur Lawa (empat daun teratai) Pasek, Pande, Penyarikan dan Dukuh- yang memiliki keahlian dalam urusan Teknologi dan Persenjataan.
Ini bisa dilihat eksistensi pura masing-masing di Besakih, yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam berbagai kegiatan Ritual dan Spiritual. Dimana Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pangan, baik yang sakral maupun yang biasa, yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kegiatan ritual dan spiritual di Pura Besakih.
Menurut cerita lain, mengungkapkan bahwa PANDE merupakan salah satu dari beberapa putra yang dimiliki oleh satu leluhur (penglingsir) di Bali, dimana para putra inilah yang nantinya menjadi cikal bakal soroh yang ada di Bali (bukan kasta atau wangsa). Dimana masing-masing putra Beliau ini memiliki keahlian yang berbeda, itu sebabnya pula ada perbedaan dari isi banten, doa maupun tirtanya.
Sehingga seorang pedanda (dari soroh ida bagus) tidak boleh memberikan tirta untuk hal2 “kepandean” ke soroh PANDE, karena soroh Pande memiliki pedanda sendiri yg bergelar Sri Empu dengan penyupatan tersendiri bagiumatnya, begitu sebaliknya di soroh yg lain.
PANDE sendiri tidak termasuk dalam Catur Warna (belakangan berkembang disebutkan menjadi Catur Wangsa), yang merupakan empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan itu adalah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Dalam perjalanannya, soroh PANDE sangat jarang ditemui berebut mengganti nama atau sorohnya tersebut menjadi soroh lain, misalkan saja ada kasus yang menyebutkan bahwa salah satu soroh PANDE, berkembang mengganti atau menamakan keturunannya dengan Ngakan, I Dewa, Anak Agung atau I Gusti.
Di Denpasar, Tabanan dan Singaraja sudah biasa bahwa satu soroh dengan nama depan I Gusti, memiliki keturunan yang diubah menjadi AA (Anak Agung) sebagai nama depan. Bahkan ada juga I Dewa jadi AA dan yang AA menambah gelar Ida sehingga menjadi Ida AA.
Hal ini kabarnya merupakan satu keminderan pada soroh sendiri sehingga akan jadi jauh lebih PeDe jika memakai nama soroh lain. Tentu jauh berbeda dengan soroh PANDE yang dikenal sangat bangga dengan nama depannya tersebut sehingga tetap dipakai pada keturunannya sendiri. Bahkan ada juga yang memakaikannya sebagai nama Blog.

Sedikit Cerita tentang Tulisan ber-Tema Keris (dan Bhisama)

Dalam dua minggu terakhir tulisan yang dipublikasikan pada blog PanDeBaik seakan diselimuti aura Keris sampai-sampai beberapa teman yang rajin menyambangi blog satu persatu meng-sms saya ‘sejak kapan PanDeBaik berpindah tema ? dari yang biasanya melulu tentang teknologi ponsel kini malah lebih mengarah pada budaya bangsa ini… Keris.
Seperti halnya yang pernah saya ungkap dalam update status jejaring sosial FaceBook akhir Juli lalu, terkait tulisan bertemakan Keris (dan Bhisama) yang dipublikasikan sejak awal Agustus, murni saya dedikasikan sebagai pembelajaran atau tambahan pengetahuan bagi Generasi Muda Warga Pande, dalam rangka DharmaWacana tentang keris dan Bhisama di Museum ‘Keris’ Neka, Sanggingan, Ubud, Gianyar.
Adapun terkait DharmaWacana tersebut diselenggarakan sebagai awal proses pembentukan Yowana Paramartha Warga Pande, sebuah wadah berorganisasi dan bersosialisasi bagi Teruna Teruni Generasi Muda Warga Pande di tingkat Kabupaten dan Kota. Sebagai pilot project, sementara waktu kami mengambil opsi dikhususkan pada kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung saja.
Lantas kenapa harus ‘Keris ? ini terkait lagi dengan kunjungan pertama kami ke Museum ‘Keris’ Neka pada tanggal 18 Juli 2010 lalu yang jujur saja menyisakan banyak pertanyaan di pikiran saya sebagai salah satu dari generasi muda (meskipun sudah berstatus menikah) warga Pande. Apalagi kalau bukan terkait apa itu keris, bagaimana proses pembuatannya, nilai-nilai dan makna yang terkandung hingga terkait puluhan keris koleksi milik Museum Neka, dari mana saja asalnya, apakah ada sejarahnya, siapa pembuatnya dan masih banyak lagi.
Sambutan yang diberikan kepada kami sangat jauh dari rencana awal yang sedianya hanyalah untuk menyampaikan keinginan dan memastikan Pande Wayan Suteja Neka berkenan menerima dan berbagi pengetahuannya saat Dharmawacana kelak. Mendengarkan dan menyaksikan secara langsung hingga berkeliling di Museum merupakan pengalaman baru bagi kami semua.
Bersyukur Uwe Suteja Neka (demikan saya memanggil Beliau) berkenan memberikan bekal literatur yang sekiranya dapat kami pelajari ketika pulang dari Museum. Dari literatur tersebutlah tulisan-tulisan yang bertemakan Keris itu berasal. Dua alasan mengapa tulisan-tulisan yang bertemakan Keris saya publikasikan lewat blog adalah pertama, isi dari tulisan tersebut terlalu berharga untuk saya ketahui seorang diri dan mengingat visi dari blog PanDeBaik adalah berbagi pengetahuan dan pengalaman maka tidak ada salahnya tulisan tersebut saya tuangkan disini. Sedang Kedua, terkait profesi sampingan saya sebagai blogger (dan memiliki media blog) ya satu-satunya yang dapat saya lakukan agar literatur yang diberikan Uwe Suteja Neka dapat lebih bermanfaat bagi kita semua adalah menuangkannya kembali dalam bentuk tulisan.
Demikian pula halnya dengan tulisan terkait 6 (enam) Bhisama Warga Pande yang barangkali sangat disarankan untuk diketahui oleh setiap Semeton Warga Pande. Harapannya tentu saja agar saat Dharmawacana nanti akan ada satu pembelajaran tambahan untuk diketahui sebelumnya serta pemahaman yang seragam satu dan lainnya.
Hanya saja publikasi tulisan yang berasal dari literatur ini bukan bertujuan untuk mengeruk keuntungan secara komersial, namun (sekali lagi) hanya sebatas pembelajaran dan tambahan pengetahuan bagi generasi muda Warga Pande khususnya dan tentu saja kita semua umumnya. Bukankah indah jika kita semua sama-sama menyadari bahwa Keris (dan Bhisama bagi Semeton Warga Pande) adalah satu warisan budaya leluhur bangsa kita yang patut dijaga dan lestarikan ?

Sekilas tentang Pura Indrakila Kintamani Bangli dalam kaitannya dengan Warga Pande

Pura Indrakila merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat yang disungsung oleh Umat Hindu dari seluruh Bali, terletak di sebuah perbukitan Desa Dausa Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Berjarak kira-kira 40 km dari Kota Bangli kearah utara menuju Singaraja.
Pura yang diempon oleh dua Desa Dinas yaitu Desa Dinas Dausa dan Desa Dinas Satra ini, melangsungkan piodalan bertepatan dengan Purnama Sasih Kapat (keempat) yang dikenal dengan ‘Ngusaba Kapat. Piodalan ini bersamaan waktunya dengan piodalan di Pura Tulukbiyu dan Pura Pucak Penulisan Kintamani, dimana ketiga pura tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Warga Pande.
Tata letak pelinggih pada area Utamaning Mandala di Pura Indrakila sangat berbeda dengan tata letak pelinggih-pelinggih pura lainnya di bali. Pura Indrakila tampaknya seperti pura kembar dimana pelinggih-pelinggih yang ada disebelah kanan dan sebelah kiri pura simetris baik jenis dan jumlah bangunannya yang persis sama dan sebangun.
Pura Indrakila sudah berdiri sejak jaman Bali Kuno, hal ini dibuktikan dengan banyaknya prasaasti yang diterbitkan oleh raja-raja Bali Kuno yang diketemukan oleh para peneliti sejarah Bali Kuno. Disamping itu, salah satu bukti yang menguatkan Pura Indrakila  adalah pura jaman Bali Kuno adalah keberadaan pelinggih berbentuk Lingga Yoni sebagai perlambang kemakmuran, berbentuk (maaf) alat kelamin laki-laki dan perempuan. Sekedar informasi, Pelinggih Lingga Yoni ini ditemukan pula berada pada Pura Penataran Pande Tamblingan.
Dalam cerita Sejarah Pura Indrakila ini tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan Warga Pande, karena di pura inilah Brahmana Dwala putra Mpu Gandring Sakti  bertemu dengan Mpu Siwa Saguna pamannya, dalam sebuah dialog imajiner ‘Yoga Semadhi’ dimana dengan tujuan awalnya adalah mencari tahu penjelasan tentang asal usulnya. Peristiwa pertemuan ini dimuat dalam Prasasti Pande Kaba-Kaba yang diketemukan di Kaba-Kaba, Kediri Kabupaten Tabanan yang didukung pula dengan Babad Pande Bratan serta sejumlah lebih dari sepuluh babad Pande versi lainnya.
Pertemuan dan dialog imajiner antara Brahmana Dwala dengan Mpu Siwa Saguna mempunya makna yang sangat mendalam bagi Warga Pande karena pertemuan itu adalah pertemuan antara dua kelompok besar Warga Pande di Bali. Kelompok yang pertama berawal dari kedatangan Mpu Brahma Wisesa yang turun ke Bali sebelum Bali diduduki oleh Majapahit. Kedatangan kelompok kedua berawal dari kedatangan Mpu Brahma Raja yang turun ke Bali setelah Majapahit menaklukkan Bali, bertepatan dengan masa pemerintahan Raja Sri Semara Kepakisan (1380-1460 M).
Akan tetapi perlu diketahui bahwa jauh sebelum kedatangan dari dua gelombang Pande tersebut diatas, di Bali telah lama ada kelompok Pande Besi, Pande Mas, Pande Krawang dan kelompok-kelompok Pande yang lain. Setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, kelompok Pande Bali Kuno ini bergabung dengan Pande yang datang kemudian, kendati banyak diantara mereka yang terpaksa menyembunyikan jati dirinya atau dalam Bahasa Bali disebut Nyineb Raga, menyembunyikan jati diri demi keselamatan jiwanya. Salah satu contoh cerita terkait ‘Nyineb Raga’ ini dapat dibaca pada tulisan saya terdahulu tentang Situs Pande Tamblingan dan Pande Bangke Maong.
Pertemuan dan dialog imajiner yang dilakukan di Pura Indrakila antara Brahmana Dwala dengan Mpu Siwa Saguna ini kemudian menghasilkan bhisama atau pewarah-warah yang sepatutnya dijadikan tuntunan dan pegangan hidup oleh seluruh Warga Pande. Bagi yang belum mengetahui isi atau gambaran umum 6 (enam) bhisama tersebut, dapat membacanya pada tulisan saya sebelumnya :
  1. Bhisama Pertama tentang Pura Besakih dan Penataran Pande di Besakih
  2. Bhisama Kedua tentang Ajaran Panca Bayu
  3. Bhisama Ketiga tentang Asta Candhala
  4. Bhisama Keempat tentang Larangan memakai Tirtha Pedanda
  5. Bhisama Kelima tentang Pesemetonan Warga Pande
  6. Bhisama Keenam tentang Tatacara Pediksan Mpu di Pande
Tulisan tentang Pura Indrakila Kintamani Bangli dalam kaitannya dengan Warga Pande ini merupakan tulisan terakhir yang barangkali dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam rangka rencana Dharmawacana yang akan dilakukan hari minggu besok, 15 Agustus 2010 di Museum Seni Neka, Sanggingan Ubud. Adapun narasumber yang akan memaparkan keterkaitan Bhisama Warga Pande ini adalah ‘Sira Mpu Sri Dharmaphala Vajrapani’ saking Grya Taman Saraswati, Tunggak, Bebandem, Karangasem beserta Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma, M.S., Ketua I Bidang Tata Keagamaan Pengurus Harian Maha Semaya Warga Pande Propinsi Bali Masa Bhakti 2007 – 2012 saking Blahbatuh Gianyar.
Tulisan ini sekaligus menjadi sebuah jawaban akan pertanyaan yang pernah saya lontarkan terkait Sejarah Bhisama Warga Pande dalam tulisan sebelumnya.
Adapun tulisan disarikan dari buku merah ‘Enam Bhisama Mpu Siwa Saguna Bagi Warga Pande melalui Brahmana Dwala’ yang dirangkum oleh (alm) Made Kembar Kerepun Penasehat Maha Semaya Warga Pande serta diterbitkan oleh Maha Semaya Warga Pande Propinsi Bali pada tahun 2005.
http://www.pandebaik.com/

Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali

Majapahit memulai dan Belanda melanggengkan sistem kasta.
Saya senang ketika seorang teman, Adi Sudewa, memberikan buku ini. Teman dari Bali tapi tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta ini mengirimi saya buku ini. Setelah menunggu sejak sekitar 2003, akhirnya saya bisa mempunyai buku ini juga, Mengurai Benang Kusut Kasta, Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali.
Sekitar tahun 2003 silam, saya dan beberapa teman diundang ikut diskusi terbatas untuk membahas draf buku ini bersama penulisnya, Made Kembar Kerepun. Diskusi dengan teman-teman muda di Bali ini semacam pra-peluncuran buku. Saat itu, untuk pertama kali saya tahu tentang kesalahpahaman tentang kasta ini meski hanya sedikit.
Namun, setelah diskusi tersebut, saya tak pernah menemukan buku karya Kerepun ini. Meski sudah mencari ke beberapa toko, saya tak pernah menemukannya. Saya hanya memiliki versi draf dalam bentuk print out serupa skripsi yang masih saya simpan sama sekarang.
Karena itu, saya senang ketika akhirnya saya mendapatkan buku ini. Saya bisa membaca buku yang membedah tentang kasta di Bali ini.
Majapahitisasi
Dari judulnya saja, buku ini sudah amat jelas. Ada dua pesan utama yang saya tangkap dari judul tersebut. Pertama, penulisnya menganggap isu kasta serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.
Begitulah penulis buku ini, Made Kembar Kerepun, membahas isu kasta dalam buku terbitan Penerbit Panakom, Denpasar April 2007 ini. Made Kembar Kerepun, yang sudah almarhum, membedah isu kasta dalam 10 bab dan 308 halaman buku ini. Bab tersebut antara lain (1) Benang Kusut Nama dan Gelar Bangsawan di Bali, (2) Belanda Kembali Hidupkan Kasta, (3) Ketidakadilan Bangkitkan Perlawanan, (4) Kiat-kiat Pengajegan Kasta, dan (5) Ranjau-ranjau Bagi Triwangsa.
Saya sih tak hanya menangkap pesan “kegeraman” penulis terhadap masalah kasta tapi juga upayanya untuk membedah dan menjelaskan bahwa sistem kasta itu sebuah kesalahpahaman yang harus dibongkar.
Kesalahpahaman terbesar, menurut Kerepun, adalah anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan. Menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda, Kerepun menunjukkan bahwa Bali dulunya tak mengenal kasta.
Rudolf Goris, antropolog yang banyak meneliti Bali, seperti dikutip Kerepun, menyatakan kasta di Bali mulai ada setelah Majapahit menguasai Bali sejak tahun 1343. Gelar-gelar baru diciptakan khusus untuk Bali karena tidak ada padanannya di Jawa. Karena itu, kasta adalah sekaligus Majapahitisasi.
Lucunya, Jawa sendiri justru tak mengenal sistem kasta. Saya sebagai orang Jawa (Timur) sama sekali tak pernah mendengar tentang kasta ini. Kalau ningrat sih ada, terutama di Jawa Mataraman, seperti Yogyakarta dan Solo, tapi itu bukan sistem kasta.
Kerepun memberikan bukti bahwa zaman Bali kuno tak mengenal sistem kasta. Pada zaman itu tidak ada gelar kebangsawanan bagi para Ksatria. Tak ada gelar, seperti Ida Bagus, I Gusti Ngurah, Cokorda dan semacamnya.
Raja Kresna Kepakisan dan keturunannya yang kemudian memulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta ini. Ide ini didukung tokoh-tokoh agama dari Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk membedakan antara Bali Aga, yang dianggap sebagai orang Bali asli, dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan seperti saat ini.
Saya pikir ini benar. Buktinya, beberapa desa Bali Aga, misalnya Tenganan Pegeringsingan di Karangasem dan Trunyan di Bangli, tidak mengenal sistem kasta. Struktur adat di dua desa ini egaliter. Tidak ada Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
Menurut Kerepun, Bali hanya mengenal Catur Warna. Kasta jika mengacu pada India adalah pembagian sistem sosial berdasarkan keturunan. Dalam sistem kasta, seseorang akan terlahir secara otomatis dalam kasta sesuai ayahnya. Acuannya nama dan keluarga. Adapun Catur Warna merupakan klasifikasi berdasarkan pekerjaan, bukan darah alias keturunan. Dinamis. Bisa saja namanya Ida Bagus, yang dianggap sebagai Brahmana, tapi bekerja sebagai pelayan, yang disebut Sudra. Sebaliknya, seorang dengan warna Ketut bisa saja jadi pemimpin agama (pemangku).
Istilah wangsa, bahasa lain dari kasta, dan warna sudah tidak cocok lagi di Bali. Cocoknya adalah soroh, warga, gotra, atau klan. Kalau soroh ini, antara lain, adalah Pande, Pasek, dan seterusnya.
Sistem kasta ini kemudian diperkuat pada zaman kolonial Belanda. Pemerintah kolonial ini membagi Bali menjadi delapan wilayah pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda, para raja dihawajibkan menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda. Misal, I Goesti Alit Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg Peonggawa di Klungkung.
Inilah yang disebut kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali saat ini. Tujuan pelestarian kasta ini untuk mempertahankan kuasa oleh kolonial melalui tangan-tangan penguasa, terutama Brahmana dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.
Perselisihan
Kebijakan ini memicu perselisihan bertahun-tahun yang bahkan, setahu saya, masih terjadi hingga saat ini. Tak hanya pertentangan diam-diam tapi juga terbuka. Tak hanya terkait isu politik dan budaya tapi juga hingga agama. Kembar Kerepun menjelaskan semuanya dengan bahasa yang, bagi saya, kadang amat sarkas. Terasa benar antipati dia pada sistem kasta.
Perselisihan ini selalu disebut terjadi antara Triwangsa (terdiri dari Brahmana, Ksatria, dan Waisya) dengan Jaba (Sudra). Salah satu contoh perselisihan yang sering sekali saya baca di buku ataupun artikel tentang Bali adalah antara majalah Bali Adnyana, dikelola Triwangsa, dengan Suryakanta, milik kaum Sudra.
Suryakanta, mewakili kelompok progresif. Melalui media ini para kelompok intelektual Jaba berpendapat Kasta tak perlu dipertahankan. Sebaliknya, Bali Adnyana justru mendukung tetap diberlakukannya sistem kasta sebagai bagian dari pelestarian budaya Bali.
Namun, perselisihan itu terlihat elegan. Mereka saling “menyerang” ide lewat media masing-masing. Setidaknya itu, sih, yang saya lihat. Dengan begitu, diskusi intelektual berkembang. Tak seperti di Bali saat ini yang agak susah mencari tandingan dari wacana arus utama. Tak banyak media yang bisa mewakili suara-suara kritis terhadap Bali saat ini.
Perlawanan terhadap sistem kasta, hampir semuanya dilakukan Jaba. Sumber perlawanan ini karena tidak adilnya sistem kasta bagi mereka. Contohnya, pemerintah kolonial Belanda amat memanjakan Triwangsa dalam hal jabatan ataupun pendidikan.
Anak-anak Jaba tak boleh menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Akibatnya, anak-anak Jaba ini lebih banyak sekolah di Jawa sehingga berpikir lebih terbuka dan progresif.
Tak cuma di bidang pendidikan, perlawanan ini juga terjadi lewat agama. Buku ini menulis beberapa contoh. Dua di antaranya terjadi di Mengwi dan Gianyar. Di dua tempat ini, warga klan Pande melawan kalangan Brahmana yang melarang mereka melakukan upacara tanpa dipimpin pihak Brahmana. Selama 17 tahun melawan, dari 1911 hingga 1928, akhirnya warga Pande diperbolehkan melaksanakan upacara dipimpin seorang empu, bukan pedanda.
Gusti Pones
Namun, perselisihan ini kadang terjadi juga dalam diri seseorang. Ada yang menaikkan kasta dengan cara membayar karena ingin memperoleh status sosial dan adat lebih tinggi. Mereka lalu mengajukan ke Lembaga Peradilan Hindu agar dinaikkan statusnya.
Pada tahun 1910, misalnya, ada 150 warga Jaba yang mengajukan diri agar kastanya naik jadi Gusti, salah satu klan dalam Triwangsa. Dari 150 pemohon, 70 di antaranya dikabulkan untuk naik kasta jadi Triwangsa dengan embel-embel gelar Gusti. Mereka dikenal sebagai Gusti Pones karena dia hadiah dari sidang.
Sebaliknya ada pula orang yang justru menurunkan kastanya sendiri karena merasa kasta yang dia miliki sebelumnya justru mengekang. Buku ini mengutip artikel Majalah SARAD tentang warga Gusti yang nyineb wangsa, bahasa lain dari kasta.
Majalah ini menulis tentang penurunan kasta secara sukarela oleh I Gusti Ketut Ngurah, 80 tahun, dari Sidemen, Karangasem. Dia mengubah nama jadi I Ketut Ngurah karena mengaku tak bisa melakukan upacara mesakapan saat menikah sesuai standar kastanya. Dia mengaku hidup pas-pasan sehingga kadang-kadang harus makan pemberian orang lain. Maka, dia pun menurunkan kasta biar bebas makan paridan atau lungsuran, sisa makan orang lain.
Setelah membahas berbagai kesalahpahaman dan perselisihan akibat kasta, Kerepun yang juga mantan anggota DPRD Gianyar ini lalu menulis tentang bagaimana kesalahpahaman itu dilestarikan. Menurut Kerepun, kesalahpahaman tentang kasta ini sengaja dipelihara sejak zaman bahuela hingga saat ini.
Pada aturan zaman kolonial, para raja membuat aturan-aturan yang, kalau dilihat sekarang akan terlihat konyol. Strategi pengajegan tersebut antara lain melalui enam larangan, yaitu amada-mada ratu, asisia-sisia, anjuran masor singgih, ketaatan dan ketakutan pada paham ajewara, ketakutan pada paham raja dewa, dan takut karena manipulasi titah Dewata. Istilah-istilah ini sesuatu yang saya juga baru tahu.
Tapi, aturan konyol itu, misalnya Jaba biasa tak boleh meniru-niru (amada-mada) raja atau ratu. Contohnya, warga Jaba tak boleh mempergunakan batu bata merah untuk membangun rumah. Warga jaba juga tak boleh mempunyai anak kembar buncing, kembar berbeda jenis kelamin. Inilah asal mula kenapa orang dengan anak kembar buncing itu disepekang atau dikucilkan secara adat di sebagian desa.
Sebagian lontar pun, menurut Kerepun, memuat aturan yang memihak pada mereka yang berkasta. Hal itu terjadi akibat kesalahpahaman terhadap ajaran agama tersebut. Saya tidak terlalu paham dengan lontar dan istilah-istilah dalam Hindu. Buku ini mengutip banyak ayat dalam ajaran Hindu yang menyatakan bahwa tidak ada istilah kasta. Sekali lagi, saya yang non-Bali dan non-Hindu tak terlalu paham persoalan ini.
Emosional
Terlalu banyaknya istilah Bali kuno atau Hindu ini memang jadi salah satu kelemahan buku karya Kerepun ini. Banyak istilah Bali yang tak mudah dipahami “outsider” semacam saya di dalam buku ini. Istilah-istilah ini terbaca amat janggal. Mungkin karena diambil dari lontar-lontar kuno yang bisa jadi juga susah dipahami anak-anak muda sekarang.
Kelemahan kedua, alur buku ini juga bolak-balik. Kurang mengalir. Contohnya tentang cara Belanda melestarikan sistem kasta. Setelah dibahas sekilas di bab-bab awal, tema ini dibahas lagi di bagian belakang. Saya merasakan loncatan balik ketika membaca ini.
Kelemahan paling penting, buku ini ditulis amat emosional. Tidak berimbang sama sekali. Sangat terasa bagaimana antipati Kerepun yang sudah almarhum ini terhadap isu kasta. Saya tak mengetahui dengan pasti apakah memang almarhum pernah memiliki masalah secara personal terkait kasta ini. Namun, dari nama istrinya, Anak Agung Ngurah Mayun, bisa jadi Kerepun pernah mengalami persoalan pribadi dengan sistem kasta ini. Saya hanya menduga-duga.
Selain berisi pendapat kritis dan bahkan sinis, buku ini juga menyampaikan fakta menarik tentang Bali sejak zaman pra-Majapahit maupun zaman kolonial. Banyak hal yang saya juga baru tahu dari buku ini. Misalnya bahwa pada tahun 1920-an, sensus penduduk Bali pun dilakukan dengan menghitung jumlah penduduk berdasarkan kasta.
Hasilnya, pada saat itu jumlah penduduk Bali sekitar 917.000. Komposisi kasta warganya adalah Brahmana 9.850 orang (1 persen), Ksatria 25.260 orang (2,7 persen), Wesia 23.450  orang (2,5 persen), dan selebihnya adalah Sudra (sekitar 94 persen).
Dengan banyak fakta dan opini tentang kasta tersebut, buku ini harus dibaca mereka yang ingin belajar tentang sistem kasta dari kacamata kritis, atau bahkan sinis. Melalui buku ini almarhum Made Kembar Kerepun telah memberikan pandangan alternatif tentang isu kasta. Dia berani membongkar pikiran bahwa sistem kasta itu sesuatu yang perlu dilestarikan. Kasta sudah tak sesuai dengan zaman. [b]

mantra mantra untuk mempersembahkan canang sari atau banten (mantra mebanten)

mantra mantra untuk mempersembahkan canang sari atau banten
mempersembahkan canang sari, sumber gambar http://sejarahharirayahindu. blogspot.com/2012/06/tirtha.html

Banten terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air dan api. Seperti penjelasan dalam artikel sebelumnya banten mempunyai fungsi penting sebagai sarana upacara bagi umat Hindu, dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan banten pun ada Do’a-do’a yang wajib diucapkan untuk melengkapi upacara yang dilakukan. Berikut adalah Doa-doa yang ada kaitannya dengan sarana banten:

1. Nunas lugra, Om ksama swamam mahadewa ya namah swaha.
2. Doa membersihkan bekas banten sebelumnya, Om sri suketing busandari, katempuh muksah alah anyar ya namah.
3. Doa memasang plawa, gantungan dll, Om kalasa gumelar, sarwa suci sukla ya namah swaha.
4. Doa ngunggahang canang sari, sarwa banten: Om ta molah panca upacara guru paduka ya namah swaha.
5. Doa ngunggahang dupa; Om ang dupa dipastra ya namah swaha.
6. Doa ngaturang toya anyar; Om pakulun bhatara, ngulun angaturaken tirtha andawasuh tangan mwang suku ya namah swaha.
7. Doa ngaturang segehan putih kuning di natar atau dibawah sanggah; Om sarwa bhuta preta byo namah.
8. Doa ngaturang segehan agung, ditengah natar pekarangan, halaman rumah; Om sarwa kala preta byo namah.
9. Doa ngaturang segehan manca warna, dilebuh, pemedal, pintu gerbang pekarangan rumah atau diperempatan jalan; Om sarwa durgha preta byo namah.
10. Doa pada tiap2 segehan dengan metetabuh; Om ibek segara, ibek danu, ibek bayu premananing hulun.
11. Ngayabang dupa/pasepan; Om agnir agnir, jyotir jyotir, om dupam samarpayami
12. Doa nyiratang toya anyar/tirtha; Om mang parama siwa amertha ya namah swaha.
13. Doa ngayabang atau ngaturang banten; Om dewa amukti sukam bhawantu, namo namah swaha.
14. Ngelungsur tirtha; Om suksma sunya sangkanira, suksma sunia paranira.
15. Ngetisang toya anyar/tirtha; Om, mang parama siwa ya namah swaha.
16. Ngelungsur bebanten; Om suksma sunia lebar ya namah swaha.
17. Yadnya sesa (mejot/mesaiban) kepada Dewa-dewi, di tempat air, api, nasi dan surya; Om atma tat twatma sudhamam swaha. Swasti swasti sarwa dewa sukha pradhana ya namah swaha.
18. Yadnya sesa (mejot/mesaiban) kepada bhuta, yaitu di pertiwi/tanah; Om atma tat twatma sudhamam swaha. Swasti swasti sarwa bhuta,kala,durgha sukha pradhana ya namah swaha.
19. Doa memulai makan; Om anugraha amrtha sanjiwani ya namah swaha.
Menghaturkan banten tidak hanya sekedar meletakkan banten yang kita persembahkan untuk Hyang Widhi tapi dalam setiap persembahan yang kita lakukan dengan sarana banten hendaknya diikuti dengan Doa-doa agar apa yang kita persembahkan tidak menjadi yadnya yang sia-sia.
baca juga arti canang sari
sumber : http://paduarsana.com/2012 /07/26/doa- sarana-banten/

Kisah Roh Lubdaka Dan Malam Siwaratri

Lubdaka adalah seorang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang kebutuhan keluarga dan sebagian untuk dimakan bersama keluarganya. Dia sangat rajin bekerja serta cukup ahli, sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil buruan.

Kisah Roh Lubdaka Dan Malam Siwaratri
Kisah Rol Lubdaka dan malam Siwaratri, sumber gambar cerita.kbatur.com

Hari itu, Lubdaka berburu sebagaimana mestinya di dalam hutan. Dibawanya semua peralatan tanpa mengenal lelah. Akan tetapi hari itu berbeda dengan hari biasanya, hingga menjelang sore lubdaka belum juga memperoleh hasil buruannya. Kalau sampe aku pulang tidak membawa hasil buruan, makan apa keluargaku di rumah? Pikiran itu membuat lubdaka semangat makin tinggi, langka semakin cepat dan pandangan mata terus mencari binatang buruan. Tanpa terasa hari sudah gelap dan lubdaka berada di tengah hutan. Lubdaka memutuskan untuk tinggal di hutan dan mencari tempat yang aman.

Lubdaka melihat ada sebuah pohon bila yang cukup tua dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga air yang tenang. Dia memanjat batang pohon itu dan mencari posisi yang nyaman untuk bersandar. Lubdaka berusaha untuk tidak tidur karena takut bila terjatuh. Agar tidak tertidur lubdaka memetik satu per satu daun bila dan menjatuhkannya ke bawah, sehingga mengenai Lingga yang ada di bawahnya. Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwalatri, dimana Dewa Siwa tengah melakukan yoga.

Satu per satu daun berguguran, lubdaka mulai menyesali segala perbuatan jahat yang pernah dia lakukan sepanjang hidupnya. Di atas pohon lubdaka bertekad untuk berhenti menjadi pemburu.Lamunan panjang Lubdaka akan dosa-dosanya seolah mempercepat waktu. Rasanya baru sebentar saja Lubdaka melamun, tapi tahu-tahu pagi pun tiba. Itu menggambarkan bahwa dosa-dosa yang pernah dilakukannya sudah terlalu banyak dan tidak bisa diingatnya satu per satu lagi dalam waktu satu malam. Karena sudah pagi, ia berkemas-kemas pulang ke rumahnya. Sejak hari itu, Lubdaka beralih pekerjaan sebagai petani. Tapi, petani tidak memberinya banyak kegesitan gerak, sehingga tubuhnya mulai kaku dan sakit, yang bertambah parah dari hari ke hari. Hingga, akhirnya hal ini membuat Lubdaka meninggal dunia.

Dikisahkan selanjutnya, roh Lubdaka, setelah lepas dari jasadnya, melayang-layang di angkasa. Roh Lubdaka bingung tidak tahu jalan harus ke mana. Pasukan Cikrabala kemudian datang hendak membawanya ke kawah Candragomuka yang berada di Neraka. Di saat itulah, Dewa Siwa datang mencegah pasukan Cikrabala membawa roh Lubdaka ke kawah Candragomuka. Di situ, terjadi diskusi antara Dewa Siwa dengan pasukan Cikrabala. Menurut pasukan Cikrabala, roh Lubdaka harus dibawa ke neraka. Ini disebabkan, semasa ia hidup, ia kerap membunuh binatang. Pendapat itu mendapat tanggapan lain dari Dewa Siwa. Menurut Dewa Siwa, walaupun Lubdaka kerap membunuh binatang, tapi pada suatu malam di malam Siwaratri, Lubdaka begadang semalam suntuk dan menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga, roh Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan. Singkat cerita, roh Lubdaka akhirnya dibawa ke Siwa Loka.

Malam Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka yang dikarang oleh Mpu Tanakung seorang Mpu besar di zamannya. Siwaratri diartikan sebagai “malam Siwa” karena pada hari tersebut Tuhan yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Siwa / Dewa Siwa yang melakukan yoga semalam suntuk untuk melebur dosa manusia. Umat Hindu merayakan Hari Siwaratri untk memohon ampun atas dosa manusia yang telah dilakukan. Di malam Siwaratri ada tiga brata yang harus dilakukan: 

  1. Mona: Tidak Berbicara
  2. Jagra: Tidak Tidur
  3. Upavasa: Tidak Makan dan Minum


Siwaratri datang setahun sekali setiap purwani Tilem ke-7 (bulan ke-7) tahun Caka.

Sejalan dengan perkembangan dan kecerdasan spiritual di Jaman Kali, penafsiran kata “peleburan” menjadi kontroversi karena tidak sejalan dengan hukum karma. Semua punya sudut pandang dan cara tafsir yang berbeda-beda. Alangkah baiknya momentum malam Siwaratri ini guna penyadaran diri untuk memperbaiki kehidupan kita di dunia.

Selamat Hari Raya Siwaratri.
om nama sivaya

Pengertian, makna dan cara melaksanakan brata siwaratri

Pengertian  dan Makna Siwaratri

Siwaratri artinya malam Siwa. Jika diuraikan terdiri dari 2 kata, yaitu Siwa dan Ratri. Siwa dalam bahasa Sansekerta berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan dan juga Siwa dapat diartikan sebagai sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemerelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian.

Sedangkan Ratri artinya malam, yang dapat diartikan juga sebagai kegelapan. Jadi Siwaratri dapat diartikan sebagai malam pemerilina atau pelebur kegelapan dalam diri dan hati untuk menuju jalan yang lebih terang.

Dalam memaknai Hari Raya Siwaratri tidak sedikit yang beranggapan bahwa Siwaratri bertujuan untuk melebur dosa. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan adanya Hukum Karma Phala? Jika dosa bisa dilebur hanya dalam satu malam (Siwaratri ). Menurut pengamat agama Gusti Ketut Widana mengatakan, secara tatwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. ”Secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya ‘penyatuan’ Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri.

Sebagai malam perenungan, kita mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini kita memohon diberi tuntunan agar dapat keluar dari perbuatan dosa.

Pengertian, makna dan cara melaksanakan brata siwaratri
Pengertian, makna dan cara melaksanakan brata siwaratri

CARA MELAKSANAKAN BRATA SHIWARATRI

Sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering disebut prawaning tilem kapitu, merupakan hari suci rahina Shiwaratri. Ada tiga jenis brata yang hendaknya kita laksanakan pada hari suci rahina Shiwaratri. Ini disebut sebagai Brata Shiwaratri, yaitu :

1. UPAWASA.- / Upawasa berasal dari bahasa sansekerta yang memiliki arti puasa tidak makan-minum. Tujuan dari upawasa adalah untuk merubah susunan energi tubuh halus kita, agar tubuh halus kita ibaratnya bisa menjadi "wadah penampung", yang dapat menampung energi suci karunia Ista Dewata.

2. MONA.- / Mona berasal dari bahasa sansekerta “Mauna”, yang memiliki arti tidak berbicara, atau tidak mengucapkan kata-kata. Tujuan dari mona adalah untuk merubah kondisi pikiran kita, agar pikiran kita lebih jernih, yang dapat membuat kita lebih mudah terhubung dengan Ista Dewata atau terhubung dengan keheningan di dalam diri.

3. TAN MREMA [JAGRA].- / Dalam buku suci Shiwaratri Kalpa, Tan Mrema juga disebut “Tan Aturu Atanghi”, yang memiliki arti tidak tidur, tetap terjaga, atau bergadang. Tan Mrema umumnya lebih dikenal dengan istilah Jagra. Makna lebih mendalam dari Jagra adalah fokus [tetap terjaga] pada rasa bhakti yang mendalam kepada Dewa Shiwa.

Brata Shiwaratri hendaknya disesuaikan dengan kemampuan, situasi dan kondisi kita masing-masing.


Tingkatan Brata Shiwaratri

Ada 3 tingkatan dalam melaksanakan brata Siwaratri, yaitu:

UTAMA - Upawasa, Mona dan Jagra.

MADYA - Mona dan Jagra / atau Upawasa dan Jagra.

NISTA - Jagra.

Jangka waktu pelaksanaan Brata Shiwaratri dilaksanakan mulai pagi hari saat matahari terbit dan berakhir pada saat matahari terbit berikutnya [selama 24 jam].

Jangka waktu pelaksanaan Brata Shiwaratri juga hendaknya disesuaikan dengan kemampuan, situasi dan kondisi kita masing-masing.

Ada tiga tingkatan jangka waktu pelaksanaan Brata Shiwaratri, yaitu :

UTAMA - Mulai pagi hari saat matahari terbit dan berakhir pada saat matahari terbit berikutnya [selama 24 jam].

MADYA - Mulai tengah hari [tengai tepet], atau sekitar jam 12 siang dan berakhir pada saat matahari terbit keesokan harinya [selama 18 jam].

NISTA - Mulai sore hari saat matahari terbenam dan berakhir pada saat matahari terbit keesokan harinya [selama 12 jam].

Tingkatan Brata Shiwaratri manapun yang kita pilih [sesuai dengan kemampuan, situasi dan kondisi kita masing-masing], sangat penting untuk diperhatikan, bahwa hendaknya selama periode 24 jam itu kita melaksanakan hal-hal sebagai berikut ini :

1. Memfokuskan diri kepada rasa bhakti yang mendalam kepada Dewa Shiwa. Seperti misalnya sebanyak mungkin melakukan penjapaan mantra Dewa Shiwa [“Om Namah Shivaya”] secara manasika japa [diucapkan di dalam hati], atau tekun melakukan meditasi advaitta-citta [meditasi non-dualitas], yaitu meditasi keheningan, sebagaimana ajaran rahasia Dewa Shiwa dalam buku-buku suci Shiwa Tantra, atau tekun melakukan pelayanan dan kebaikan kepada mahluk lain, sebagaimana dalam ajaran suci Shiwa Tantra disebutkan bahwa salah satu arti kata "Shiwa" adalah belas kasih agung.

2. Memfokuskan diri kepada perenungan ajaran suci dharma. Seperti misalnya membaca buku-buku suci, mendengarkan dharma wacana seorang Guru Suci, dsb-nya. Jangan fokus kita teralihkan kepada kesenangan duniawi seperti misalnya main game, bergossip, pacaran, merayu lawan jenis, dsb-nya.

3. Menahan diri dari segala perbuatan yang melanggar dharma. Jangan menyakiti, jangan mencuri, jangan menipu, dsb-nya.

4. Menahan diri dari segala perkataan yang melanggar dharma. Jangan ngomel-ngomel, jangan marah atau memaki, jangan menjelekkan orang lain, jangan merendahkan orang lain, jangan menghina, dsb-nya.

Setelah matahari terbit keesokan harinya, Brata Shiwaratri sudah berakhir dan hendaknya kita lanjutkan dengan sadhana Tilem sasih Kapitu sebagai penutup keseluruhan Brata Shiwaratri. Yaitu pada pagi hari melakukan mandi penyucian [melukat] di pathirtan [sumber mata air suci] atau pura beji, serta pada siang hari kita memberikan sedekah [punia] kepada orang miskin, atau orang sakit, atau orang-orang yang memerlukan lainnya.

Benarkah melaksanakan Brata Shiwaratri dapat menghapuskan karma-karma buruk ? Rumah Dharma tidak akan membuka hal ini dengan tujuan agar tidak mengurangi kerelaan dan ketulusan Anda dalam melaksanakan sadhana Brata Shiwaratri.

Malam Shiwaratri adalah malam Dewa Shiwa yang sangat sakral. Di alam kematian, Dewa Shiwa adalah Ista Dewata yang menjadi pelindung dan penolong universal bagi semua mahluk. Ini bukan pengetahuan yang sekedar bersumber dari buku-buku suci, melainkan juga diketahui dari penembusan spiritual ke alam rahasia oleh para Satguru dan para sadhaka yang wikan. Laksanakanlah saja Brata Shiwaratri dengan penuh ketulusan dan tanpa pamrih, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Lubdaka.

Om Namah Shivaya. Selamat melaksanakan Brata Shiwaratri. Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami…